Massa buruh berunjuk rasa menolak revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (21/8/2019). Selain poin-poin revisi merugikan buruh, buruh juga menolak revisi karena revisi tanpa didahului proses yang seharusnya.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Beredarnya draf revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memantik emosi buruh. Mereka menentang materi draf yang dianggap merugikan buruh itu. Protes itu dilakukan dengan berunjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (21/8/2019).
Massa buruh yang menentang draf itu tergabung dalam Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas). Mereka, antara lain, berasal dari Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia 1998, dan Federasi Serikat Petani Indonesia.
Dalam draf revisi UU Ketenagakerjaan yang beredar sebelumnya, di dunia maya ataupun kalangan serikat pekerja, poin-poin revisi dinilai sangat merugikan pekerja. Pasal yang mengatur soal cuti haid, misalnya, dihapuskan dengan alasan rasa nyeri haid dapat diatasi dengan obat antinyeri. Kemudian, pasal yang mengatur fasilitas kesejahteraan dihapuskan. Adapun pasal soal pesangon diubah sehingga menguntungkan perusahaan.
Koordinator Gekanas Arif Minardi mengatakan, selain poin-poin revisi merugikan buruh, buruh juga menolak revisi karena revisi tanpa didahului proses di Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit.
LKS Tripartit merupakan forum komunikasi, konsultasi, dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja, dan pemerintah. ”LKS Tripartit tidak pernah mengeluarkan dokumen resmi. Melalui forum komunikasi inilah seharusnya keinginan revisi disampaikan,” katanya.
”Tidak ada dokumen resmi yang berisi argumen, kajian, data, analisis, dan parameter ekonomi secara nasional dan perbandingan dengan negara lain. Dokumen ini penting karena menyangkut nasib 51 juta pekerja formal beserta keluarganya,” tuturnya.
Arif menyebutkan, buruh tidak anti terhadap wacana revisi UU Ketenagakerjaan. Walakin, mereka menolak revisi yang merugikan buruh. Poin dalam draf revisi yang sangat merugikan ialah pengurangan pesangon dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang dapat diperpanjang maksimal lima tahun.
Selain itu, perluasan jenis-jenis pekerjaan alih daya (outsourcing) diyakini akan membuat buruh semakin mudah mendapat pemutusan hak kerja oleh perusahaan. Arif menambahkan, buruh menuntut dua hal. Pertama, tegas menolak revisi UU Ketenagakerjaan. Kedua, menerima revisi dengan syarat pelibatan dalam revisi agar produk yang dihasilkan saling menguntungkan.
Sementara sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menyatakan, draf revisi UU Ketenagakerjaan yang beredar di dunia maya tak jelas sumbernya. Pemerintah belum mengeluarkan draf karena proses revisi UU Ketenagakerjaan masih dalam tahap kajian. Pemerintah pun masih menyerap aspirasi dari serikat pekerja/serikat buruh dan dunia usaha.
Rencana revisi UU Ketenagakerjaan mengemuka setelah Presiden Joko Widodo bertemu sejumlah asosiasi pengusaha, pertengahan Juni 2019. Sepekan setelah itu, Presiden langsung menggelar rapat dengan sejumlah menteri di Kabinet Kerja untuk membahas revisi UU Ketenagakerjaan.
Revisi dinilai perlu karena selain sudah banyak ketentuan yang kurang relevan dengan perkembangan zaman, revisi juga untuk membentuk ekosistem ketenagakerjaan yang lebih baik. Revisi sekaligus dimaksudkan untuk mendorong investasi.