Surat kepada Redaksi
Jaga Area Tangkapan di DAS
Memasuki musim kemarau, masyarakat pesisir Pulau Jawa, seperti Kabupaten Pacitan, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Grobogan, mulai mencari air bersih puluhan kilometer atau menunggu mobil tangki.
Kejadian seperti ini terus berulang dan makin parah seiring peningkatan jumlah penduduk. Air tawar sebagai kebutuhan dasar manusia hanya tersedia 3 persen, sisanya 97 persen adalah air laut. Maka, ketersediaan air tawar harus dikelola dengan baik.
Beruntung Indonesia hanya mempunyai dua musim—kemarau dan hujan—sehingga pasokan air tawar dari air hujan cukup melimpah. Namun, air hujan yang seharusnya menjadi berkah malah menjadi bencana karena salah kelola kawasan hutan di daerah hulu.
Dalam kaitan ini menjadi penting keberadaan daerah tangkapan air (DTA) atau ”catchment area” daerah aliran sungai (DAS) suatu kawasan. DAS tidak mengenal batas wilayah administratif karena hanya mengenal hulu dan hilir sehingga apabila terjadi bencana, seperti banjir, tanggung jawab pemangku wilayah tidak bisa dibebankan ke hilir, tetapi juga ke daerah hulu.
Bentuk tanggung jawab ini dapat berupa kompensasi anggaran penyelamatan DTA dari pemda yang di hilir ke pemda di hulu. Contoh kasus DAS Ciliwung, apabila terjadi banjir, Pemprov Jabar dan Pemkab Bogor harus ikut bertanggung jawab bersama pemda DKI.
DTA merupakan daerah penjaga ketersediaan air di daerah hilir sepanjang fungsi hidroorologis kawasan hutan dijaga dengan baik. UU No 41/1999 tentang kehutanan Pasal 18 Ayat (2) menegaskan bahwa kawasan hutan yang dipertahankan untuk kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan (forest coverage ) minimal 30 persen luas DAS dan atau pulau dengan sebaran proporsional. Dalam praktik, untuk daerah berpenduduk padat, seperti Pulau Jawa, ketentuan itu tidak berlaku.
Penutupan hutan jauh di bawah angka 30 persen. Luas penutupan hutan DAS Bengawan Solo tersisa 4 persen dan DAS Ciliwung 8,9 persen. Jerih payah Presiden Joko Widodo membangun 65 bendungan hingga tahun 2019 sebagai pengendalian dan pengelolaan air akan percuma apabila penutupan hutan di DTA DAS tidak dijaga.
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan KLHK, Villa Bogor Indah, Ciparigi, Bogor
Raden Saleh
Kami amat mengapresiasi Wali Kota Bogor Bima Arya dalam pembangunan fisik dan seni budaya Sunda di Kota Bogor, termasuk jembatan layang di Jalan Martadinata yang sedang dibangun.
Tepat penamaan jalan dengan nama Raden Saleh karena ia menghabiskan masa kecil dan masa berkarya di Bogor. Idem dengan Jalan Ibrahim Adjie yang lahir di Gang Menteng, Kota Bogor.
Saya usul ada perkumpulan para seniman lukis dengan nama Raden Saleh karena saya lihat lukisan mereka amat bagus walau ”galerinya” dulu di pagar Kebun Raya Bogor (KRB) dekat Kantor Pos Juanda. Siapa tahu lukisan mereka bisa diekspor ke mancanegara karena Raden Saleh dikenal dunia sehingga menghasilkan devisa.
Suyadi Prawirosentono
Selakopi Pasir Mulya,
Bogor
”Maafkan Saya”
Sampai saat ini saya masih berlangganan koran Kompas edisi cetak dan membeli buku-buku secara fisik.
Saya tidak sanggup beralih untuk berlangganan Kompas dan buku secara elektronik sebagai gantinya, dengan berbagai alasan.
Mata saya terlalu lelah saat membaca melalui layar. Apalagi di layar telepon seluler yang relatif kecil.
Apa boleh buat, saya lebih suka membaca dengan memegang fisiknya, mendengar bisikan di tiap lembar halamannya, dan membaui kertasnya.
Maafkan saya, pohon.
Vita Priyambada
Kompleks Perhubungan,
Jatiwaringin, Jakarta 13620