Wisata Berbasis Ekologi dan Budaya Jadi Penyelamat Subak Bali
›
Wisata Berbasis Ekologi dan...
Iklan
Wisata Berbasis Ekologi dan Budaya Jadi Penyelamat Subak Bali
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Konversi lahan pertanian mengakibatkan implementasi subak di Bali mulai terdegradasi. Alih profesi pun tak bisa dihindarkan karena pendapatan ekonomi dari sektor pertanian kurang menjanjikan dan minat generasi muda untuk melestarikan kearifan lokal ini semakin berkurang.
Data Badan Pusat Statistik Bali menunjukkan, pada tahun 2013 Bali masih memiliki lahan sawah sekitar 81.165 hektar. Namun demikian, pada 2016 lahan sawah di Bali berkurang menjadi 79.526 hektar. Dengan demikian, dari tahun 2013 hingga 2016 di Bali terjadi alih fungsi lahan sawah seluas 1.639 hektar atau sebesar 2,02 persen.
Pengurangan lahan pertanian itu ternyata juga dibarengi dengan maraknya alih profesi dari bidang pertanian ke bidang pariwisata. Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2013 dan tahun 2016, penduduk Bali yang bekerja di bidang pertanian sebanyak 547.750 jiwa dan 506.251 jiwa. Pada tahun yang sama, jumlah penduduk Bali yang bekerja di bidang pariwisata sebesar 616.610 jiwa dan 728.757 jiwa.
“Terjadinya penurunan jumlah pekerja pada sektor pertanian sebesar 76 persen. Sedangkan untuk sektor pariwisata justru mengalami peningkatan sebesar 18,2 persen,” kata Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional I Made Geria saat mempertahankan disertasinya dengan judul “Model Pengelolaan Subak Berkelanjutan Berbasis Kearifan Lokal di Kawasan Sarbagita Bali”, Selasa (20/8/2019), di Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat.
Menurut Made, proses alih fungsi lahan yang terus-menerus terjadi di Bali perlu mendapatkan perhatian khusus. Oleh karena itu perlu adanya kebijakan yang bersifat jangka panjang dan bersifat jangka pendek untuk menyikapi fenomena ini.
Berdasarkan hasil penelitian Made di kawasan Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan), di tengah fenomena alih fungsi lahan tersebut, budaya subak masih terus berkembang pada tataran umum. Namun, khusus di daerah perkotaan mulai terjadi pelemahan pada tataran implementasi.
Berdasarkan hasil penelitian Made di kawasan Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan), di tengah fenomena alih fungsi lahan tersebut, budaya subak masih terus berkembang pada tataran umum.
Kebijakan strategi
Menyikapi kondisi ini, sejumlah alternatif kebijakan strategi perlu diterapkan dalam rangka melestarikan peradaban subak di wilayah Sarbagita. Pelestarian peradaban subak sebagai benteng peradaban Bali antar lain dapat dilakukan dengan membuat peraturan daerah yang meringankan pajak lahan sawah. Dengan kebijakan ini, maka masyarakat khususnya petani dimudahkan dalam menjaga budaya subak.
Selain itu, keberadaan awig-awig (aturan adat) juga perlu dikuatkan dan diakui pemerintah daerah. Dengan demikian, dalam pelaksanaannya akan ada kekuatan hukum yang mengikat.
Pelestarian subak dapat dilakukan pula dengan membuat pemetaan jalur hijau menjadi dasar untuk mencegah konversi lahan yang berlebihan. Pemetaan jalur hijau ini perlu ditindaklanjuti dengan pembentukan lembaga pemasaran untuk menyosialisasikan pariwisata berbasis pertanian dan budaya.
Pelestarian subak dapat dilakukan pula dengan membuat pemetaan jalur hijau menjadi dasar untuk mencegah konversi lahan yang berlebihan.
Pelestarian dapat dilakukan dengan melakukan revitalisasi untuk memaksimalkan peradaban subak di Kawasan Sarbagita yang mengalami pelemahan pada tataran implementasi. Pelestarian dapat dilakukan dengan pembuatan regulasi oleh pemerintah daerah untuk dapat dijalankan secara masif di wilayah Sarbagita dengan menjadikan subak sebagai obyek wisata berbasis ekologi dan budaya (eco culture tourism).
Peradaban subak Sarbagita sebagai eco culture tourism mesti dilestarikan dengan cara memanfaatkan kekuatan sistem religi yang masih dipegang oleh masyarakat. Sampai sekarang, sistem religi yang dipegang oleh masyarakat Bali masih menjadi bagian terpenting bagi masyarakat dan kekhasan Bali yang sangat menarik bagi wisatawan.
Upacara-upacara adat, bangunan pura dan peninggalan sejarah nenek moyang tetep melekat peradaban subak serta upaya-upaya konservasi lingkungan di Bali. Oleh karena itu, eco culture tourism adalah salah satu solusi yang dapat diimplementasikan untuk menyinergikan antara pertanian dan pariwisata di Bali.
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Prof I Wayan Windia yang turut menjadi salah satu penguji, mengatakan, Bali masih eksis dalam mewariskan tradisi pemuliaan air dan peran itu dilakukan oleh subak. Elemen subak meliputi sumber air, petani, sawah, pura, dan otonomi. ”Meski terus-menerus diintervensi, subak tetap mandiri sampai sekarang,” katanya.
Bali masih eksis dalam mewariskan tradisi pemuliaan air dan peran itu dilakukan oleh subak.
Menurut Wayan, subak hanya bisa dilestarikan apabila petani sejahtera. Karena itu, seperti harapan UNESCO, semestinya kesejahteraan petani subak lebih diperhatikan.
”Insentif yang harus diberikan kepada para petani subak, antara lain bebaskan mereka dari pajak bumi dan bangunan, mereka juga harus dididik berkoperasi dan mengembangkan industri pengolahan kelas rumah tangga, dijamin irigasinya, dan dipastikan agar harga produksi mereka dibeli lebih tinggi di atas harga pasar,” kata dia.