Pameran seni rupa Power of Java yang digelar Liquid Colour Community di Bentara Budaya Jakarta, 16-24 Agustus 2019, tentu bukan bermaksud memanggungkan ”Jawa-sentrisme”. Sebanyak 30 karya yang ditampilkan lima perupa mencoba merespons kondisi sosial masyarakat zaman ini.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Pameran seni rupa Power of Java yang digelar Liquid Colour Community di Bentara Budaya Jakarta, 16-24 Agustus 2019, tentu bukan bermaksud memanggungkan ”Jawa-sentrisme”. Sebanyak 30 karya yang ditampilkan lima perupa mencoba merespons kondisi sosial masyarakat zaman ini yang menggelinding cepat, lepas dari pijakan-pijakan awalnya.
Dengan kekuatan masing-masing, lima perupa, yaitu Choerodin Roadyn, Muji Harjo, Endro Banyu, Sigit Raharjo, dan Lenny Ratnasari Weichert, mencoba menyampaikan pesan-pesannya.
”Para seniman ini tidak ingin sekadar bernostalgia atas masa silam, tetapi juga ingin membagikan pesan pengingat perihal perubahan kondisi sosial dan budaya sekarang yang acap mengejar ’kecepatan, kepraktisan, dan kemudahan’, tetapi mengesampingkan sopan santun, unggah-ungguh, kearifan lokal, bahkan nilai sosial yang dulu dijunjung tinggi,” kata Ika W Burhan, Ketua Pengelola Bentara Budaya Jakarta, pekan lalu, di Jakarta.
Para seniman ini tidak ingin sekadar bernostalgia atas masa silam, tetapi juga ingin membagikan pesan pengingat perihal perubahan kondisi sosial dan budaya sekarang yang acap mengejar kecepatan, kepraktisan, dan kemudahan.
Endro Bayu dengan lukisan sekuelnya berjudul ”Potret Perempuan Jawa” menampilkan sosok Gusti Raden Ayu Siti Nurul Kamaril Ngasarati Kusumawardhani atau Gusti Nurul, putri tunggal Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro VII dan Gusti Kanjeng Ratu Timur.
Gusti Nurul adalah sosok penting lahirnya penyiaran nasional. Tahun 1936, ia tampil menari Srimpi Bedhaya di Den Haag, Belanda, saat resepsi pernikahan Ratu Yuliana dan Pangeran Benhard di Istana Noordeinde dengan iringan gamelan Kanjut Mesem di Pura Mangkunegaran yang disiarkan lewat radio Solosche Radio Vereeniging dari Solo ke Belanda.
Dalam karyanya, Endro menggambarkan keanggunan dan kecantikan khas Jawa Gusti Nurul. Dari lima sekuel lukisannya, gambar paling kanan terlihat paling jelas, lalu menyusul keempat gambar di bagian kiri berangsur-angsur sosok Gusti Nurul terlihat kabur. Di lukisan paling ujung kiri, Endro menulis ”kula nuwun” dalam warna merah agak kabur.
Dalam tradisi Jawa, kula nuwun merupakan sapaan halus ketika seseorang hendak bertamu ke rumah orang lain. Kini, sapaan-sapaan itu mulai luntur bersamaan dengan kaburnya keanggunan perempuan-perempuan Jawa yang dulu mendapatkan contoh kuatnya pada sosok Gusti Nurul.
Gali semangat
Choerodin Roadyn memiliki cara tersendiri untuk menyuguhkan karyanya. Alex Luthfi, pendiri Saung Banon Arts Yogyakarta yang turut mengurasi karya-karya lima perupa, menyebut lukisan Choerodin, ”Spirit Holopis Kuntul Baris”, sebagai lukisan dengan gaya realis baru yang menawan.
”Imajinasi yang berada dalam pikirannya tentang kebebasan terlukiskan menjadi simbol-simbol yang akrab dengan kita. Kuda dan burung dipilih sebagai bahasa ungkapan yang tepat dan komunikatif. Kebebasan oleh Choe dipersepsikan melalui gambar kuda dan burung yang liar hidup di alam bebas,” paparnya.
Ungkapan holopis kuntul baris sering kali muncul dalam percakapan informal masyarakat Jawa, terutama untuk memotivasi semangat gotong royong. Choerodin mengingatkan kembali kepada siapa pun (paling tidak orang Jawa) untuk menggali lagi semangat kebersamaan gotong royong, seperti halnya burung-burung kuntul yang terbang beriringan dan derap kaki kuda yang berlari ke depan.
Semangat gotong royong kembali ditampilkan Liquid Colour Community (Choerodin, Endro, Muji, dan Sigit) pada lukisan kolaborasi mereka berjudul ”Power of Java” berukuran 580 cm x 200 cm. Lukisan empat panel itu bergambar imajinasi tentang pembangunan Candi Borobudur.
Dalam kerja kolaborasi ini, mereka melukiskan geliat ribuan orang Jawa pada 775 Masehi hingga 832 Masehi saat Dinasti Syailendra membangun Candi Borobudur. Proses gerak cepat kerja dan gotong royong yang sangat aktif tampak dalam efek blur yang dimunculkan pada sosok-sosok manusia dalam lukisan tersebut.
”Di dalam imaji saya, tentang pembangunan Borobudur, tergambar spirit kerja bahu-membahu, gotong royong mendirikan monumen sebagai penghormatan terhadap keyakinan agama yang kemudian menjadi cermin peradaban bangsa. Menghayati spirit pembangunan Borobudur tampaknya telah menjelma ke dalam sifat orang Jawa, yaitu mengedepankan gotong royong, menyatukan satu visi,” ucap Alex.
Pertanyaan yang perlu dilontarkan saat ini adalah, masihkah kesolidan era Dinasti Syailendra itu ditemukan? Atau justru masyarakat kita sekarang sendiri-sendiri tanpa arah? Yang jelas, Candi Borobudur menjadi bukti sejarah yang tak terbantahkan bagaimana keguyuban dan gotong royong membuahkan hasil bersama yang mampu bertahan berabad-abad.
Candi Borobudur menjadi bukti sejarah yang tak terbantahkan bagaimana keguyuban dan gotong royong membuahkan hasil bersama yang mampu bertahan berabad-abad.
Pesan lugas juga muncul dari seniman tamu Lenny Ratnasari yang diajak Liquid Colour Community untuk berpameran di Bentara Budaya Jakarta. Dengan karyanya berjudul ”Ticket to Heaven”, Lenny membuat beberapa macam bentuk kerudung dari bahan material kawat dan aluminium.
Formasi kerudung itu dibuatnya bergelantungan memenuhi ruang pamer. Tanpa harus menyampaikan banyak kata, Lenny hanya mencantumkan judul dari karya instalasinya…”Ticket to Heaven”. Tentu judul ini bisa dimaknai banyak hal oleh para penikmat seni, bisa jadi sebuah pertanyaaan, bisa jadi pula sebuah keyakinan, tergantung dari sudut pandang masing-masing.
Liquid Colour Community bergiat di Yogyakarta. Berawal dari pertemuan di sebuah pameran, para perupa anggota komunitas ini memutuskan untuk bergabung dan mengadakan pameran bersama. Nama Liquid Colour diambil dari tema pameran yang pernah mereka laksanakan di Bentara Budaya Yogyakarta pada 2017. Di Bentara Budaya Jakarta, kali ini mereka mengajak para penikmat seni untuk ”becermin” dari Jawa.