Immanuel Macron menjalankan peran sebagai jembatan antara Eropa dan Rusia dengan menjamu Vladimir Putin. Peran itu dahulu biasanya dilakukan Angela Merkel.
Oleh
·2 menit baca
Sebuah harian di Austria pernah menulis, ”Tidak ada yang bisa berjalan di Eropa tanpa Merkel. Siapa lagi yang mampu meyakinkan Presiden Rusia Vladimir Putin kembali ke meja perundingan?” Tulisan itu dibuat pada awal 2015, tahun ketika Kanselir Jerman Angela Merkel menjadi primadona di panggung diplomasi Eropa, termasuk peran mediasinya dalam konflik di Ukraina. Bahkan, ada ungkapan bahwa di antara para pemimpin Eropa, hanya Merkel yang didengar Putin.
Namun, era kepemimpinan Merkel di Eropa tentu ada batas waktunya. Akhir Oktober 2018, Merkel (kini berusia 65 tahun) menyatakan rencananya untuk tidak memperpanjang jabatan sebagai pemimpin partai Uni Demokratik Kristen (CDU). Ia memastikan akan menyelesaikan masa tugasnya sebagai kanselir hingga tahun 2021. Jika ia tak berubah pikiran, Eropa bakal kehilangan pemimpin de facto-nya. Lalu, siapa yang pantas mengisi sepatu yang ditinggalkan Merkel?
Banyak kalangan menoleh pada Presiden Perancis Emmanuel Macron. Sosok pemimpin berusia muda (41 tahun), energik, pendukung liberalisme Eropa, dan antusias dalam memediasi penyelesaian konflik, termasuk di Ukraina timur, salah satu pengganjal dalam hubungan antara Eropa dan Rusia. Peran Macron sebagai calon pemimpin Eropa dimulai pada Senin (19/8/2019), saat menjamu Putin di tempat peristirahatan resmi Presiden Perancis di Bregancon, kawasan tepi Laut Tengah, Perancis.
Seperti dilaporkan harian ini mengenai pertemuan Macron dan Putin (Kompas, 21/8/2019), kedua pemimpin sepakat untuk mengakhiri perseteruan antara Eropa dan Rusia terkait isu Ukraina. Hubungan Eropa dan Rusia terganggu oleh aneksasi Moskwa pada Semenanjung Crimea di Ukraina timur tahun 2014. Akibat kasus itu, Rusia dikeluarkan dari Kelompok 8 (G-8) yang mencakup Perancis, Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Jerman, Italia, dan Jepang.
Tanpa Rusia, kelompok itu kini menjadi G-7. Saat ini Perancis adalah Ketua G-7, yang akan menggelar pertemuan puncak di Biarritz, Perancis barat daya, 24-26 Agustus ini. Macron tahu cara memainkan kartu sebagai Ketua G-7, menyikapi opsi yang dicuatkan Presiden AS Donald Trump, bahwa Rusia layak dimasukkan lagi ke G-8. Meski tak eksplisit, Macron ingin menjadikan penyelesaian krisis Ukraina sebagai bagian dari alat tawar dengan Rusia. Peluang itu diperkuat oleh terpilihnya Presiden Volodymyr Zelensky di Ukraina, yang membuka dialog dengan semua pihak, termasuk Rusia.
Apa pun model penyelesaian krisis Ukraina yang ditawarkan, termasuk lewat ”format Normandy”, yang melibatkan empat negara (Ukraina, Jerman, Perancis, dan Rusia), hal ini bakal menjadi ujian kepiawaian diplomatik bagi Macron, khususnya menghadapi Putin, orang kuat dari Rusia. Jika ia berhasil, Macron pantaslah digadang-gadang mengisi sepatu ”pemimpin Eropa” yang tak lama lagi ditinggalkan Merkel.