Uni Emirat Arab terus membangun hubungan strategis dengan Israel meskipun dua negara itu sampai saat ini belum memiliki hubungan diplomatik resmi.
Harian terkemuka dan berhaluan kiri di Israel, Haaretz, dalam investigasinya yang dipublikasikan pada Selasa (20/8/2019), mengungkapkan, Uni Emirat Arab (UEA) dan Israel telah mencapai megatransaksi di sektor kerja sama intelijen senilai 3 miliar dollar AS. Perundingan kesepakatan itu dilaporkan berlangsung sejak sekitar satu dekade silam.
Pengusaha Israel, Matanya Kochavi, yang mengendalikan perusahaan di Swiss, disebut berperan besar di balik tercapainya megatransaksi tersebut. Kochavi disinyalir juga memiliki beberapa perusahaan di Israel yang bergerak di bidang keamanan dan militer. Megatransaksi UEA-Israel itu telah dirintis sejak tahun 2006 dengan mediasi Kochavi.
Salah satu isi kesepakatan megatransaksi tersebut adalah Israel akan menyuplai dua pesawat mata-mata supercanggih kepada UEA. Dengan pesawat itu, UEA bakal memiliki keunggulan telak di sektor pesawat pengintai dan mata-mata di kawasan Teluk Persia.
UEA bakal memiliki keunggulan telak di sektor pesawat pengintai dan mata-mata di kawasan Teluk Persia.
Menurut Haaretz, Israel telah menyerahkan satu pesawat mata-mata supercanggih ke UEA tahun 2018 dan akan menyerahkan satu lagi pesawat serupa tahun 2020. Pesawat mata-mata supercanggih itu mampu mengacaukan sistem komunikasi musuh, membuka peta sistem komunikasi elektronik Iran, termasuk jaringan radar dan sistem pertahanan antiserangan udara pengawal instalasi-instalasi nuklir Iran.
Pesawat mata-mata supercanggih dari Israel itu diuji coba sejak beberapa pekan lalu dengan lepas landas dari pangkalan udara militer Al-Dhafra di Abu Dhabi, UEA. Pesawat itu masih dikendalikan oleh pilot Israel dan dijadwalkan tahun 2020 akan diserahkan secara penuh kepada UEA.
Pesawat mata-mata tersebut terbang beberapa jam di atas Teluk Persia untuk mengumpulkan dan mendata informasi intelijen di beberapa negara di kawasan itu, seperti Iran, Arab Saudi, Irak, dan Yaman. Adapun pesawat mata-mata kedua yang akan diserahkan ke UEA tahun 2020 kini dalam tahap pengembangan teknologi di Inggris dan telah diuji coba terbang di kota London.
Tak puas terhadap AS
UEA membeli sendiri pesawat mata-mata supercanggih itu karena mereka tak puas atas hasil informasi intelijen yang didapat dari AS selama ini. AS ditengarai hanya memberi informasi intelijen secara terbatas kepada UEA terkait kawasan Teluk Persia.
Padahal, UEA saat ini dan ke depan butuh informasi intelijen tidak hanya terbatas di kawasan Teluk Persia, tetapi juga di Yaman dan Libya. Seperti diketahui, UEA terlibat langsung dalam perang di Yaman dan Libya.
Di Libya, UEA mendukung pasukan Jenderal Khalifa Haftar melawan pasukan loyalis PM Fayez Siraj untuk merebut ibu kota Tripoli. Di Yaman, UEA membentuk dan mendukung milisi Dewan Transisi Selatan (STC), yang Sabtu (17/8) lalu mengambil alih kota Aden dari pasukan loyalis Presiden Abdurabbuh Mansour Hadi.
UEA disinyalir tengah mendesak Israel agar mempercepat penyerahan pesawat mata-mata supercanggih kedua itu pada awal 2020, menyusul peningkatan ketegangan di Teluk Persia setelah jatuhnya kembali sanksi AS atas Iran dan makin sulitnya situasi di Yaman.
Harian Haaretz juga mengungkapkan bahwa Israel, UEA, dan Arab Saudi akhir-akhir ini intensif tukar-menukar informasi intelijen terkait isu Iran. Tony Blair Institute, Agustus 2018, melaporkan, neraca dagang Israel dengan negara-negara Arab Teluk mencapai 1 miliar dollar AS per tahun.
Pendiri dan Direktur Pusat UEA untuk Kajian Strategis, Jamal al-Suweidi, mengatakan bahwa isu Palestina kini bukan lagi hambatan untuk pengembangan hubungan Israel dengan UEA dan negara Arab Teluk lain. Menurut dia, ancaman dari Iran dan loyalisnya, seperti Hezbollah di Lebanon dan kelompok Houthi di Yaman, kini menjadi prioritas agenda UEA dan negara Arab Teluk lainnya untuk segera dihadapi. Hal ini memaksa mereka bekerja sama dengan Israel untuk menghadapi musuh bersama itu.