JAKARTA, KOMPAS — Masa transisi perpindahan anak dari pendidikan anak usia dini ke sekolah dasar masih harus ditangani lebih serius. Jangan sampai beban pindah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi membuat anak stres sehingga perkembangan seluruh spektrum kecerdasannya terhambat.
Hal itu mengemuka dalam diskusi bertopik "Serius Bermain, Serius Belajar: Studi Kasus Transisi PAUD ke SD" di Jakarta, Rabu (21/8/2019). Kegiatan diadakan oleh Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), sebuah lembaga penelitian independen terkait isu pendidikan. Dalam diskusi itu diterangkan bahwa pendidikan anak usia dini (PAUD) mencakup kelompok bermain, tempat penitipan anak, taman kanak-kanak, athfal, dan satuan PAUD sejenis.
"Masalahnya, istilah PAUD maupun pendidikan pra sekolah sering dipahami secara keliru oleh masyarakat. Kebanyakan PAUD dan orangtua mengira lembaga itu adalah untuk persiapan anak masuk SD sehingga cara pemelajarannya meniru sekolah formal," kata dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Sampoerna sekaligus peneliti PSPK Nisa Felicia.
Kebanyakan PAUD dan orangtua mengira lembaga itu adalah untuk persiapan anak masuk SD sehingga cara pemelajarannya meniru sekolah formal.
Ia menjelaskan, masih banyak PAUD menerapkan pemelajaran seperti SD, yaitu meja dan kursi yang disusun sejajar dan tidak menyediakan banyak ruang gerak bagi anak. Kegiatan belajar juga terpusat kepada mendengar guru di depan kelas. Mayoritas pelajaran dilakukan dengan anak harus duduk di kursi masing-masing. Mereka berlatih membaca, menulis, dan berhitung secara konvensional yaitu anak disuruh latihan menulis di buku dan mengerjakan lembar kerja siswa.
"Metode ini kontraproduktif dengan tumbuh kembang anak karena anak usia dini harus bergerak dan mengembangkan semua elemen kecerdasannya," tutur Nisa.
Kesiapan anak untuk sekolah dan melanjutkan ke level pendidikan lebih tinggi dilihat dari aspek sosio-emosional, kognitif, bahasa, fisik motorik, dan kemampuan eksekusi (bisa mengambil keputusan dan tahu hal yang harus dilakukan dalam konteks situasi tertentu). Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung (calistung) hendaknya dikemas dalam kegiatan yang aktif, interaktif, dan bukan berupa latihan terus-menerus (drilling).
Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung (calistung) hendaknya dikemas dalam kegiatan yang aktif, interaktif, dan bukan berupa latihan terus-menerus (drilling).
"Pertama-tama adalah mengajak anak senang ke sekolah dan belajar. Artinya, yang dipupuk adalah kecintaan anak untuk bereksplorasi dan berekspresi. Rasa penasaran mereka akan membuahkan sikap senang membaca, bertanya, dan belajar," papar Nisa.
Pada tahun 2007, ekonom Amerika Serikat peraih Hadiah Nobel James Joseph Heckman mengeluarkan hasil penelitian mengenai pembangunan sumber daya manusia di negara-negara berkembang. Salah satu subyek penelitiannya ialah PAUD, terutama lembaga yang mengajarkan calistung secara konvensional kepada anak-anak.
Ia menemukan bahwa metode ini justru membuat anak jenuh, bahkan stres hingga menimbulkan efek luntur. Artinya, ketika baru masuk kelas I SD anak-anak ini tampak lebih pintar dari yang lain karena bisa mengeja dan berhitung. Akan tetapi, dalam dua tahun kemampuan mereka luntur, bahkan banyak yang tertinggal dari siswa lain.
Heckman berargumen hal ini karena para anak dipaksa belajar layaknya siswa yang sudah duduk di SD kelas IV atau V. Mereka kehilangan minat belajar dan menganggapnya sebagai beban.
Tidak selaras
Diskusi tersebut diikuti oleh guru-guru PAUD, guru SD, dan orangtua. Mereka mengeluhkan aturan pemerintah yang tidak selaras antara PAUD dan SD. Kasus yang paling menonjol adalah adanya aturan melarang pemelajaran calistung secara konvensional di PAUD. Namun, di kelas I SD buku pelajaran pertamanya sudah menggunakan kalimat lengkap yang panjang.
Anak yang tidak bisa membaca berisiko mendapat cemoohan dari siswa lain. Bahkan, ada guru PAUD dan orangtua yang melaporkan anaknya dicap tidak pandai dan PAUD asalnya tidak bagus. Padahal, di kelas I SD semestinya pemelajaran juga berbasis permainan.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Biro Perencanaan dan Kerja Sama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Suharti mengatakan di pihak pemerintah masih perlu penguatan kapasitas. Dalam hal ini terutama agar setiap aturan dipahami, misalnya koordinasi antara PAUD dan SD harus segera dilakukan.
Guru TK Negeri Bendungan Hilir, Jakarta, Entin Kartini yang menjadi narasumber berbagi pengalaman mengajar calistung dengan cara kreatif. Daripada menyuruh siswa menghafal dan menjiplak huruf, lebih mengasyikkan membuat permainan mengenai nama-nama benda seperti buah-buahan yang di dalamnya disusupkan pengenalan abjad.
"Misalnya, mengajak anak menggambar kereta api lalu ia diminta menghitung jumlah gerbong dan menceritakan kereta tersebut dari mana dan hendak ke mana. Saya bisa menilai penguasaan tata bahasa, kepercayadirian, dan kemampuan kognitif anak dari sana," ucapnya.