Otoritas Hong Kong Perketat Keamanan di Stasiun dan Bandara
›
Otoritas Hong Kong Perketat...
Iklan
Otoritas Hong Kong Perketat Keamanan di Stasiun dan Bandara
Pemerintah Hong Kong menambah jumlah polisi di stasiun dan bandar udara sebagai antisipasi lanjutan unjuk rasa. Pengunjuk rasa telah menolak tawaran dialog dari Pemerintah Hong Kong dan tengah menyiapkan rangkaian unjuk rasa besar.
Oleh
KRIS MADA, DARI HONG KONG
·3 menit baca
HONG KONG, KOMPAS — Pemerintah Hong Kong menambah jumlah polisi di stasiun dan bandar udara sebagai antisipasi lanjutan unjuk rasa. Pengunjuk rasa telah menolak tawaran dialog dari Pemerintah Hong Kong dan tengah menyiapkan rangkaian unjuk rasa besar.
Di bandara internasional Hong Kong, pintu masuk diberi pembatas sementara. Hanya penumpang, pekerja maskapai, dan pekerja bandara yang boleh masuk. Kamis (22/8/2019), sejumlah orang ditolak masuk karena bukan penumpang atau pekerja terkait bandara. Pengantar juga hanya boleh mengantar sampai pelataran depan bandara.
Pemeriksaan dilakukan bersama oleh polisi dan petugas keamanan bandara. Sejumlah polisi Hong Kong hilir mudik di area lapor penumpang dan kedatangan. Bandara tersebut pernah diduduki pengunjuk rasa selama empat hari sejak 9 Agustus 2019, menyebabkan ratusan penerbangan dibatalkan selama dua hari pada 12-13 Agustus lalu.
Dalam berbagai ruang diskusi dunia maya, beredar kabar bandara akan kembali diduduki pengunjuk rasa. Belum ada kepastian soal informasi itu. Sebab, rangkaian unjuk rasa Hong Kong tidak dikendalikan oleh pemimpin yang bisa dijadikan acuan pemeriksaan ulang informasi. Meskipun demikian, peserta ruang diskusi di dunia maya itu bersemangat untuk menduduki bandara lagi.
Selain bandara, sasaran pendudukan adalah stasiun kereta. Pada Rabu malam, lebih dari 1.000 orang duduk diam di Stasiun Yuen Long. Di stasiun itu, pada 21 Juli 2019, terjadi kericuhan antara pengunjuk rasa yang berhadapan dengan polisi dan massa tidak dikenal.
Pengunjuk rasa melempari polisi dengan aneka benda. Sementara polisi memukuli dan menembaki pengunjuk rasa dengan gas air mata. Adapun massa tidak dikenal dan mengenakan kaus putih ikut memukuli pengunjuk rasa.
Kelompok-kelompok pembela hak sipil di Hong Kong menuntut penyelidikan independen atas insiden itu. Tuntutan tersebut merupakan salah satu dari lima tuntutan yang diajukan pengunjuk rasa.
Belakangan, beredar informasi bahwa polisi mempunyai akses penuh terhadap kamera pemantau di stasiun itu. Dengan demikian, kepolisian Hong Kong bisa senantiasa memantau keadaan stasiun.
Berlanjut
Pendudukan bandara dan stasiun merupakan bagian dari kelanjutan unjuk rasa yang digerakkan oleh berbagai kelompok masyarakat. Jumat, 23 Agustus, perkumpulan akuntan dijadwalkan berunjuk rasa di sekitar kompleks pemerintahan.
Sementara pada Jumat malam, organisasi-organisasi pelajar dan mahasiswa Hong Kong akan berunjuk rasa dengan cara bergandengan tangan. Mereka ingin membentuk rantai manusia seperti pernah dilakukan penduduk negara-negara Baltik pada 30 tahun lalu saat ratusan ribu warga Lithuania, Latvia, dan Estonia meratapi bersama atas hilangnya kemerdekaan pada pemerintahan Soviet.
”Hanya ada satu cara menghentikan unjuk rasa ini, penuhi lima tuntutan. Tidak ada negosiasi, tidak ada dialog. Tidak ada yang bisa mengatasnamakan massa, lalu berunding dengan pemerintah. Ini aspirasi bersama dan akan terus bergerak selama tuntutan tidak dipenuhi,” tutur Wakil Presiden Demosisto, Isaac Cheng.
Hanya ada satu cara menghentikan unjuk rasa ini, penuhi lima tuntutan. Tidak ada negosiasi, tidak ada dialog.
Demosisto adalah salah satu perkumpulan yang aktif dalam rangkaian unjuk rasa Hong Kong sejak 2014. Sebagian pengurus dan pegiat perkumpulan itu terlibat dalam Revolusi Payung 2014.
Sebelumnya, Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam menawarkan dialog dengan pengunjuk rasa. Walakin, ia tidak bersikap tegas soal lima tuntutan pengunjuk rasa.
Selain penyelidikan atas dugaan kekerasan, pengunjuk rasa juga meminta Lam secara resmi mencabut Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi. Sampai sekarang, Lam hanya menyatakan RUU itu sudah mati. Tidak ada keputusan resmi yang menyatakan RUU itu tidak akan dibahas. Penolakan atas RUU itu memicu unjuk rasa sejak April dan tidak henti sejak Juni 2019.
Dalam RUU itu, Hong Kong dimungkinkan mengekstradisi seseorang yang dicari negara lain. Ekstradisi tetap akan dilakukan walau tidak ada perjanjian antara Hong Kong dan negara peminta. Warga khawatir, RUU itu akan menjadi dasar hukum permintaan penangkapan para pengkritik Beijing di Hong Kong.
Pengesahan RUU itu juga dikhawatirkan menyatukan sistem hukum dan peradilan Hong Kong dengan China. Padahal, China berjanji, Hong Kong bisa menerapkan sistem terpisah setidaknya hingga 2047. Ketidakpercayaan atas independensi sistem peradilan dan hukum China membuat warga Hong Kong menolak penyatuan itu.