Sesungguhnya, kecerdikan Pak DeKa sudah terlihat ketika ia membangun latar peristiwa rekaan kartunnya pada masa Kerajaan Majapahit sebagai masa kini. Sementara masa kontemporer, di mana kita hidup sekarang ini, adalah masa 500 tahun kemudian.
Oleh
Putu Fajar Arcana
·5 menit baca
Dalam sikap penuh rasa hormat, Panji Koming berdiri. Ia menakupkan kedua tangan di dadanya. Pada batu besar di bawahnya, tertulis, ”Selamat Jalan Pak Swan”. Sementara Pailul berjalan menjauh sembari mengucapkan, ”Asyik, lho, menulis sejarah.”
Kartun dalam lima panel itu sudah pasti menjadi goresan terakhir kartunis Dwi Koendoro Brotoatmojo, yang dimuat pada edisi Kompas Minggu, 18 Agustus 2019. Dua tokoh yang mewakili suara rakyat jelata, Panji Koming dan Pailul, sesungguhnya sedang mengucapkan ”selamat jalan” atas kepergian tokoh penting dalam perjalanan harian Kompas, Polycarpus Swantoro. Pak Swan, demikian kami memanggilnya, berpulang pada Minggu (11/8/2019) sekitar pukul 03.30 dini hari. Di mata Dwi Koendoro dan juga bagi kami, Pak Swan tak sekadar pernah menjadi guru sejarah pada masa hidupnya, tetapi lebih-lebih turut berdarah-darah menatah sejarah, sebagaimana yang kini tercatat dalam biografi pendirian harian Kompas.
Rupanya, celetukan sambil lalu Pailul, ”Asyik, lho, menulis sejarah” akan menjadi kalimat terakhir yang diketahui publik. Ucapan bernada santai, tanpa beban, tetapi mengandung kebenaran hakikat itu, menjadi isyarat kepergian Dwi Koendoro. Kartunis yang lahir di Banjar, Jawa Barat, 13 Mei 1941 itu, pergi untuk selamanya pada Kamis (22/8/2019) pukul 03.14 di Jakarta. Tetapi selalu begitulah cara kartunis berpamitan. Sebagaimana penyair, kata-kata yang diucapkannya penuh metafor, bersayap, multi-interpretatif, dan sering kali meneropong kebenaran masa depan.
Pak DeKa, begitu biasanya Dwi Koen disapa, seperti tetesan air yang menerpa bongkahan batu di sebuah gua. Perlahan-lahan air tidak membuat lubang menganga, tetapi justru membentuk stalaktit dan staglamit, yang menajam vertikal dari atas dan bawah. Air yang menetes dari tangan Pak DeKa, bukan air biasa, karena mengandung kalsit (kalsium karbonat), yang pada akhirnya menumpuk dan membentuk material keras. Itulah keindahan dalam sebuah gua. Terkadang menjadi penghalang bagi para petualang, tetapi setiap kali pula lahir sebagai dekorasi alam yang menantang dan imajinatif.
Demikian halnya seri kartun Panji Koming yang terbit pertama kali 14 Oktober 1979 di halaman Kompas Minggu. Atas saran almarhum GM Sudarta, senior Pak DeKa waktu itu, terbitlah seri kartun kerakyatan dengan tokoh-tokoh yang memiliki karakter lugu sekaligus cerdik. Menurut Efik Mulyadi, jurnalis yang bekerja bersama Pak DeKa waktu itu, Panji Koming meneruskan karakter-karakter dalam punawakan dalam pewayangan klasik.
”Panji Koming itu lugu, tetapi Pailul yang cerdik. Lalu ada tokoh bangsawan (birokrat) yang jemawa, tetapi kepalanya kosong,” kata Efix Mulyadi, Kamis (22/8/2019), di sela-sela melayat ke rumah duka di kawasan Bintaro, Kota Tangerang Selatan, Banten.
Sesungguhnya, kecerdikan Pak DeKa, sudah terlihat ketika ia membangun latar peristiwa rekaan kartunnya pada masa Kerajaan Majapahit sebagai masa kini. Sementara masa kontemporer, di mana kita hidup sekarang ini, adalah masa 500 tahun kemudian. Latar peristiwa ini lalu dilengkapi dengan penciptaan karakter-karakter spesifik, seperti Panji Koming, Pailul, Dyah Gembili, Ni Woro Ciblon, Denmas Aryo Kendor, Mbah Kakung, dan Kirik. Lewat dunia rekaan inilah, Pak DeKa melontarkan kritik-kritik yang mengundang senyum pahit. Walau sesekali muncul pula humor-humor yang dianggap bernada sarkastik dan karena itu berkali pula tak lolos kurasi para editor di Kompas Minggu.
Kartun pertama
Pada edisi pertama Panji Koming, Dwi Koen menggambar dalam enam panel. Panel pertama tampak seorang pejabat kerajaan dipayungi seorang ajudan dan kemudian ditandu dua pengawal. Gambar-gambar berikutnya menunjukkan, perjalanan pejabat kerajaan dan pengawalnya menyeberangi sebuah sungai. Ketika mereka tetap berjalan maju melintasi air dan tenggelam, ikan-ikan berlompatan. Di ujung lain, seseorang bertubuh rakyat menghormat kepada pejabat kerajaan. Pada panel terakhir rakyat yang menghormat tadi mengucapkan kalimat, ”Menjaga kewibawaan memang penuh konsekuensi”.
Kartun yang dipresentasikan dalam bentuk komik strip ini, sudah memberi isyarat awal, bahwa Dwi Koen sangat mengandalkan visualisasi, sebagaimana ilmu yang ia kuasai. Gambar-gambarnya mengandung narasi cerita yang kaya tanpa atau dengan kata-kata. Sering kali ia memperlakukan kata-kata sebagai ”bahasa hati” atau ”opini” dari dirinya untuk bersikap pada situasi dan kondisi terkini dari bangsanya. Dalam beberapa hal, sikap kritisnya kerap mengundang tawa, rasa geli, atau sekadar senyum, tetapi tak kurang pula menuai kritik balik.
Dwi Koen pernah bekerja sebagai kepala produksi di Gramedia Film dan kemudian kepala bagian audio visual di lembaga yang sama. Sebelumnya, ia bersekolah di SSRI/ASRI Yogyakarta di mana ia menimba keterampilan menggambar. Sangat bisa dipahami, kekuatan utama Panji Koming terletak pada kemampuan Dwi Koen dalam memvisualisasi karakter dan ulah tokoh dengan bahasa gambar yang liris, serta mudah diikuti karena naratif. Kalaupun ia menggunakan kata-kata, itu terkadang sekadar memverbalkan apa yang sesungguhnya telah ia presentasikan dalam gambar.
Tokoh Panji Koming sendiri, menurut rekan kerjanya di Gramedia Film, Wiediantoro, memang lahir sebagai akronim dari Kompas Minggu. Sejak edisi Kompas Minggu diterbitkan pada akhir 1970-an, edisi dan awak pengelolanya lazim disebut sebagai Koming. Sesungguhnya, kata Wied, Dwi Koen menciptakan karakter-karakter dalam kartunnya berdasarkan karakter teman-teman kerjanya dulu di Gramedia Film.
”Banyak orang bilang secara fisik Panji Koming itu mirip saya. Itu juga diakui oleh Agus Dermawan,” kata Wied sambil menyebut penulis seorang seni rupa. Sementara tokoh-tokoh lain, seperti Pailul, Dyah Gembili, dan Ni Woro Ciblon mengacu pada karakter teman kerjanya dulu. ”Pokoknya orang-orang riil ada,” kata Wied.
Sudah pasti bukan nyata atau tidak nyata tokoh-tokoh dalam komik strip Panji Koming yang jadi masalah, tetapi ikthiar Dwi Koen menatah sejarah dirinya yang membuatnya identik dengan bentangan biografi Kompas edisi Minggu. Panji Koming dan Dwi Koen telah menjadi ikon yang dipajang di halaman muka sebuah media sehingga setiap pembaca selalu singgah, menyimak, dan mencatatnya dalam sejarah masing-masing.
Kalau hari ini dan kemarin kita mendengar kabar Dwi Koendoro, sang pencipta Panji Koming tiada, setidaknya ia telah meninggalkan sekumpulan catatan penting tentang perjalanan sebuah bangsa dan negara bernama Indonesia. Bangsa dan negara yang ia cintai dengan cara mengkritiknya. Senantiasa begitulah cara seorang kartunis mengungkapkan rasa cintanya yang dalam. Pelan-pelan cairan cinta itu menetes membentuk tonjolan-tonjolan keindahan, yang hanya bisa direguk dengan cara memasuki guanya….
Selamat jalan Pak DeKa. Anda boleh tiada, tetapi Panji Koming akan berkelana jauh bersama kami.