Sujono, Seni Mencintai Lingkungan
Lewat seni, Sujono (49) tak cuma menawarkan keindahan. Ia beringsut berkampanye menyelamatkan lingkungan. Seni bagi Sujono memiliki misi strategis, terutama sebagai wahana advokasi kecintaan kepada semesta.
Lewat seni, Sujono (49) tak cuma menawarkan keindahan. Ia beringsut berkampanye menyelamatkan lingkungan. Seni bagi Sujono memiliki misi strategis, terutama sebagai wahana advokasi kecintaan kepada semesta.
Sujono berkampanye menyelamatkan lingkungan dengan memanfaatkan limbah dan sampah. Dia membuat wayang dengan bahan talang bekas, kostum tari dengan memakai bungkus-bungkus jajanan. Semua aksesori pendukung lainnya, seperti gelang tangan dan kaki, juga diupayakannya menggunakan barang-barang bekas.
Tidak hanya sampah dari plastik ataupun produk kemasan, dia juga memanfaatkan sampah alam, seperti dedaunan dan buah kering.
Terakhir, sejak tahun 2018, Sujono juga berhasil membuat lukisan dengan memakai cat dari sampah plastik yang dileburkan.
Sekalipun dianggap sebagai barang tidak berguna, sampah plastik tersebut dianggapnya sebagai puncak ”prestasinya” sebagai seniman.
”Saya merasa bangga karena belum ada seniman lain yang mengembangkan karya lukis berbahan sampah plastik,” ujar warga Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, ini pekan lalu.
Semua karya Sujono yang menggunakan bahan-bahan ”tidak biasa” ini membutuhkan siasat, upaya, dan kerja keras. Upaya itu diawali kesabaran menunggu dan mencari barang bekas dengan warna dan jenis bahan sesuai yang diinginkan.
Ketika membuat lukisan berbahan plastik, misalnya, dia harus melakukan dua pekerjaan sekaligus, yaitu melelehkan plastik dan melukis. Hal itu harus dilakukan karena ”cat” harus digunakan dalam kondisi hangat. Oleh karena itu, Sujono harus rela melukis didampingi kompor tempatnya melelehkan plastik. Agar aroma plastik tidak mengganggu pernapasan, dia harus melukis dengan mengenakan masker. Sepintas mirip seperti sedang melelehkan lilin saat membatik.
Lukisan yang dihasilkan Sujono sekilas mirip dengan lukisan berbahan cat akrilik. Hanya saja, lukisan tersebut terlihat bertekstur, dengan tonjolan-tonjolan permukaan cat yang tidak rata.
Lukisan plastik
Sejak tahun 2018 hingga sekarang, Sujono telah membuat 10 lukisan berbahan sampah plastik. Empat lukisan di antaranya masih tersimpan di rumah dan enam lukisannya pernah dipamerkan dalam ajang pameran di Vietnam dan Magelang.
Semua karya berbahan sampah ini memancing respons positif dari banyak orang yang melihatnya. Lukisan berbahan plastik selalu memancing perhatian dan membuat banyak pengunjung penasaran serta bertanya bagaimana membuatnya. Adapun satu set wayang berbahan talang bekas juga sudah menjadi koleksi salah satu kolektor seni di Vietnam.
Kostum tari yang dibuatnya dari bekas bungkus makanan juga menjadi salah satu hiasan kostum yang dipakai grup kesenian tari bentukannya. Maka, jangan heran ketika kemudian melihat bungkus makanan ringan dan wafer merek tertentu ikut melambai-lambai dalam gerakan tari.
”Jika memang tidak bisa mengurangi sampah, saya hanya ingin menunjukkan bahwa sampah tetap bisa dimanfaatkan, didaur ulang menjadi sesuatu yang indah,” ujarnya.
Lewat karya-karya itu, Sujono ingin mengetuk kesadaran para pemirsanya bahwa betapa pentingnya menyelamatkan lingkungan dari sampah plastik.
Karya-karya ini mengantarkan Sujono pada berbagai forum diskusi. Ia kerap diundang sebagai pembicara dan pemateri dalam acara diskusi ataupun seminar di sejumlah universitas, antara lain di Malang, Bogor, Jakarta, dan Malaysia. Dalam forum tersebut, Sujono yang hanya lulusan SMP memberikan paparan kepada kalangan akademisi, mahasiswa dan dosen.
Latar belakang pendidikannya sering kali membuat Sujono tidak percaya diri. Dia pun makin merasa kurang yakin ketika rekan narasumber lainnya adalah kalangan birokrat atau akademisi berpendidikan tinggi.
Sejak kecil, Sujono gemar melukis. Karena mendengar bahwa di SMK akan banyak pelajaran tentang teknik menggambar di SMK, selepas SMP, dia langsung memutuskan bersekolah di salah satu SMK di Magelang. Dia amat terkejut karena apa yang dipelajarinya tidak sesuai dengan yang dibayangkan.
Sujono merasa tidak betah. Masuk ke jenjang kelas dua SMK, dia berniat tidak melanjutkan sekolah dan mendaftar untuk mengikuti pendidikan militer dengan menggunakan ijazah SMP. Upaya Sujono ini ditentang kedua orangtuanya. Dalam kondisi marah dan kecewa, dia memutuskan pergi ke Semarang. Setelah sempat menggelandang tidak jelas, dia kemudian bekerja di sebuah pabrik dan diterima sebagai petugas satpam.
Sekitar tahun 1992, dia memutuskan untuk menekuni seni lukis. Namun, karena harga cat dan kanvas mahal, sedangkan dirinya tidak memiliki uang, Sujono pun memutuskan untuk membuat topeng dan menggambar bagian wajahnya. Ketika itu, membuat topeng tidak sulit karena dia bisa dengan bebas meminta kayu secara gratis dari tetangga di sekitar rumah.
Sujono terus membuat topeng. Kegiatan berkesenian ini tidak pernah ditinggalkan sekalipun dia masih harus menjalankan aktivitas lain, yaitu bertani.
”Saat istirahat, saya mengeluarkan perkakas dan mengukir topeng di tepi sawah,” ujarnya.
Aktivitas semacam ini dia jalani selama sekitar setahun. Setelah berhasil memproduksi ratusan topeng, dia pun berkeinginan menjual topeng-topeng itu ke kawasan Borobudur. Dengan berjalan kaki, Sujono membawa topeng-topeng tersebut dengan menggunakan karung.
Upayanya memasarkan topeng inilah yang akhirnya mengantarkannya berkenalan dengan tokoh seniman dan budayawan Sutanto Mendut. Sujono kemudian bergabung dengan Komunitas Seniman Lima Gunung (KLG). Dari komunitas inilah dia akhirnya bisa mengembangkan relasi dan mengembangkan pemasaran karya-karyanya.
Semua karya yang dibuatnya memiliki karakter dan keunikan tersendiri. Wayang Kali dan Wayang Samudra, misalnya, adalah wayang berbentuk ikan, yang pementasannya harus dilakukan di sungai atau laut. Salah satu tari yang dibuatnya adalah tari Topeng Saujana, yang bertutur tentang tingkah polah serangga, dengan kostum yang dirancang unik.
Selain berkesenian, hingga saat ini, Sujono juga masih melanjutkan aktivitas yang sama seperti orangtuanya, yaitu bertani. Apa yang ada di alam yang dilihatnya setiap hari, itulah yang kemudian menjadi inspirasi besarnya dalam kesenian.
Sujono
Lahir: Magelang, 11 November 1970
Pendidikan terakhir: SMP Negeri 2 Sawangan
Nama istri: Tubiyati (41)
Nama anak: Indra Gading (21), Ade Bondan Pratoto (11)