Dana penanganan kekeringan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta, menipis. Diperkirakan, dana akan habis paling lambat awal Oktober.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
GUNUNG KIDUL, KOMPAS - Dana penanganan kekeringan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta, menipis. Dana yang sebagian besar digunakan untuk menyalurkan bantuan air kepada warga itu diperkirakan habis paling lambat awal Oktober, sementara hujan diperkirakan baru turun pada November.
Kekeringan melanda 18 kecamatan di Gunung Kidul sejak Juni. Sekitar 130.000 jiwa terdampak kekeringan ini. Sebanyak 14 kecamatan mengajukan permohonan bantuan (dropping)air ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Gunung Kidul.
Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Gunung Kidul Edy Basuki, Jumat (23/8/2019), mengatakan, dropping air terus dilakukan untuk menangani kekeringan. Adapun total dana yang sudah disiapkan dalam menghadapi kekeringan tahun ini sebanyak Rp 530 juta. Sejauh ini, lebih dari Rp 300 juta telah digunakan untuk keperluan tersebut.
“Sampai saat ini, kami sudah mendistribusikan 1.200 tangki ke daerah-daerah yang mengajukan permohonan itu. Menurut perhitungan kami, kemungkinan, anggaran yang kami miliki hanya cukup sampai September atau awal Oktober,” kata Edy.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Stasiun Klimatologi Mlati, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Yogyakarta Reni Kraningtyas mengungkapkan, kemarau masih akan berlangsung hingga Oktober. Itu menyebabkan awal musim hujan bakal mundur. Menurut perkiraan, hujan baru akan turun pada November.
Dengan kondisi itu, Edy berencana meningkatkan status kekeringan menjadi darurat kekeringan. Itu dilakukan agar bisa mendapatkan dana tambahan yang akan digunakan untuk melakukan dropping air ke sejumlah daerah yang membutuhkan.
Sumur bor itu hanya bisa di wilayah-wilayah tertentu saja. Tidak semua kecamatan bisa.
Langkah dropping air dilakukan karena tidak semua daerah di Gunung Kidul bisa dibuat sumur atau sumur bor untuk mengatasi kekeringan. “Sumur bor itu hanya bisa di wilayah-wilayah tertentu saja. Tidak semua kecamatan bisa,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Bupati Gunung Kidul Immawan Wahyudi mengungkapkan, pihaknya telah berusaha membangun sumur bor sedikitnya sebanyak 20 buah setiap tahun. Namun, sumur tidak memungkinkan dibangun di semua daerah. Sumber air tanah belum tentu ada di setiap daerah. Selain itu, biayanya juga sangat besar untuk membuat sumur bor berskala besar.
Salah satu daerah yang belum memiliki sumur bor adalah Desa Melikan, Kecamatan Rongkop. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih di musim kemarau, warga harus membelinya dengan harga Rp 120.000-130.000 per tangki.
Saat musim hujan, mereka menampung air hujan. Setiap rumah memiliki tandon air berukuran besar. Tandon air itu juga yang digunakan untuk menampung air bersih yang mereka beli.
Berdasarkan pantauan, di Desa Melikan, terdapat sebuah telaga yang sudah kering bernama Telaga Banteng. Kondisi itu telah terjadi sejak Juli. Sebelumnya, pada musim kemarau, air dari telaga itu menjadi salah satu andalan warga. Biasanya, warga menggunakan air dari telaga itu untuk mandi atau mencuci baju.
“Warga biasanya datang ke telaga mengambil air dengan jeriken. Itu dilakukan oleh orang-orang yang tinggal di dekat telaga saja,” tutur Ratib (75), warga Dusun Ngricik, Desa Melikan.
Kini, Telaga Banteng hanya tampak seperti lapangan luas. Tidak ada air lagi, hanya menyisakan rumput liar. Warga memanfaatkan rumput itu untuk pakan ternak mereka. Tampak pula sebagian tanah retak di dasar telaga tersebut.
Kepala Desa Melikan Kartina mengungkapkan, air menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi warganya. Selain untuk kebutuhan sehari-hari, hampir semua warga desa itu bekerja sebagai petani. Tanpa air, mereka harus beralih pekerjaan atau menjual ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Kalau kering seperti ini, mau tidak mau ternak harus dijual biar bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Hal itu seperti yang dilakukan Ratib. Ia terpaksa menjual seekor kambing ternaknya guna mencukupi kebutuhan sehari-hari. “Saya sudah biasa bertani. Kalau kering seperti ini, mau tidak mau ternak harus dijual biar bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kalau tidak, saya jual kayu bakar. Tapi, itu butuh waktu berhari-hari. Dalam 3-4 hari, saya baru bisa dapat Rp 100.000-150.000,” katanya.
Sementara itu, Sukiran (51), warga lain, harus beralih menjadi buruh bangunan harian agar bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Kekeringan membuatnya tak bisa lagi bercocok tanam.
Pendapatan Rp 70.000 per hari diperolehnya dari bekerja sebagai buruh. Tapi, itu juga tak menentu karena tidak setiap hari ada orang yang membutuhkan buruh. “Ya harus seperti ini. Ini biar bisa cukup semua kebutuhan kami. Beruntung kami belum sampai harus menjual ternak,” kata Sukiran.