Khidmat PKB ke NU Berbuah Kenaikan Suara
Untuk pertama kalinya, Musyawarah Nasional Alim Ulama digelar bersamaan dengan Muktamar Partai Kebangkitan Bangsa, Selasa (20/8/2019), di Nusa Dua Bali. Khidmat PKB ke NU membuahkan kenaikan perolehan suara Pemilu.
Musyawarah Alim Ulama yang melahirkan pesan perdamaian bertajuk “Seruan Bali” itu dihadiri sekitar 1.000 ulama dan kiai Nahdlatul Ulama (NU) seluruh Indonesia. Apakah ini pertanda kian solidnya dukungan warga nahdiyin untuk Partai Kebangkitan Bangsa?
Musyawarah itu dihadiri Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj, Katib Syuriah PBNU Yahya Cholil Staquf, kiai akademik kondang yang juga pengajar Melbourne University Australia Nadirsyah Husen, dan sejumlah ulama muda NU seperti Gus Muwafiq, dan Gus Miftah.
Ketua Pelaksana Muktamar PKB Lukmanul Khakim, Jumat (23/8/2019), menjelaskan, gelaran dua forum secara bersamaan itu menjadi bukti PKB tak ingin meninggalkan induknya. Sejarah mencatat, Nahdiyin mendeklarasikan PKB pada 23 Juli 1998, di Ciganjur, Jakarta Selatan. “Kami ingin mendengar aspirasi dan kemauan para ulama se-Indonesia terkait rekomendasi di sektor politik dan dakwah,” kata Lukmanul.
Tak bisa dimungkiri, lanjutnya, selain sejumlah manuver lincah dari Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, tren positif kenaikan suara PKB tak lepas dari konsolidasi pemilih Nahdiyin. Presiden Joko Widodo memilih Ma\'ruf Amin sebagai wakilnya di Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.
“Ini memudahkan konsolidasi di akar rumput untuk menempatkan pemilu presiden dan pemilu legislatif dalam satu tarikan nafas,” katanya.
Muktamar PKB pun bergulir. Dalam pidato pembukaan muktamar, Cak Imin mencuplik hubungan antara NU dan PKB. Ia berterima kasih kepada Said Aqil karena selalu sabar dan konsisten membimbing PKB.
Menurut Cak Imin, Said Aqil tidak mempedulikan kritik yang menyebut dirinya terlalu berpihak ke PKB. “Kami ini tidak berpihak ke PKB. Tetapi kami ini sedarah dengan PKB,” kata Cak Imin, menirukan alasan Said Aqil. Muktamirin tertawa mendengar itu.
Dalam muktamar yang digelar selama dua hari, 20-21 Agustus, itu, muktamirin kembali mengukuhkan Cak Imin sebagai ketua umum. Sementara doa penutupan muktamar dipimpin oleh salah satu Rais Syuriah PBNU, Kiai Haji Subhan Makmun.
Ditemui seusai penutupan muktamar, Subhan menyatakan bahwa NU mengayomi semua partai. Munas ulama yang digelar bersamaan dengan muktamar ibarat “sambil menyelam minum air.”
Kendati demikian, lanjutnya, NU memang mengistimewakan PKB. Selain karena lahir dari rahim NU, PKB juga partai yang konsisten memperhatikan NU, terutama di daerah.
Di Brebes, Jawa Tengah, misalnya, kata Subhan, hanya PKB yang rajin bersedekah. Padahal di tempat itu, kader NU juga tersebar di partai lain. “Diakui atau tidak, memang ada jalinan yang lebih kuat,” katanya.
Menurut Juru Bicara Keluarga Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Imron Rosyadi Hamid, NU perlu mengevaluasi pola hubungannya dengan partai-partai politik, termasuk PKB. Ia tidak menampik, relasi NU dengan PKB memang istimewa karena hubungan kesejarahan yang kuat. Namun, NU tidak boleh terpatok hanya pada satu partai. “Harus ada jarak yang sama antara NU dengan semua partai,” katanya.
NU, menurutnya, seharusnya jadi payung dari seluruh eksponen partai-partai di Indonesia yang punya kepedulian terhadap gagasan Islam moderat. NU perlu kembali ke khittah untuk tidak secara formal berpolitik praktis, sesuai amanat Muktamar NU ke-27 di Situbondo 1984.
Imron menilai tidak benar anggap bahwa di bawah kepemimpinan Muhaimin, khususnya pasca Pemilu 2019 lalu dan menuju Pemilu 2024 nanti, warga Nahdiyin berhasil dikonsolidasikan secara solid untuk mendukung PKB.
Ia menyebut, saat ini, ada sekitar 120 juta warga NU yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun, perolehan suara PKB saat Pemilu 2019 lalu hanya 13.570.097 suara. “Artinya, mayoritas warga NU tidak semuanya ke PKB, tetapi menyebar ke mana-mana,” kata Imron, yang juga Rais Syuriah Pengurus Cabang NU Tiongkok.
Kemenangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin di pemilihan presiden yang lalu dan dukungan warga NU yang relatif solid untuk pasangan tersebut, menurutnya, juga bukan buah dari kerja keras PKB.
Sebagai contoh, suara unggul Jokowi-Amin di Jawa Timur selaku basis nahdliyin terbesar di Indonesia. Menurutnya, itu tidak bisa diklaim sebagai hasil kerja PKB. Namun, sebagai buah dari ketokohan sejumlah ulama NU yang dekat dengan Jokowi, serta jaringan kiai dan pondok-pondok pesantren. Para kiai dan ulama itu di mata warga Nahdiyin dilihat sebagai patron-patron yang mengakar di masyarakat.
“Jangan salah, kami ingin mendorong PKB jadi partai besar yang modern, tetapi tidak bisa ada klaim sepihak bahwa di bawah kepemimpinan Cak Imin, semua kelompok NU di Indonesia bisa dirangkul mendukung PKB,” kata Imron.
Imron pun mengkritik gaya kepemimpinan Muhaimin yang dinilai semakin sentralistik dan seolah ingin membangun citra sebagai pemilik tunggal partai. Secara jangka panjang, model kepemimpinan seperti itu dikhawatirkan bisa memunculkan benih-benih konflik di internal partai yang bisa merugikan secara elektoral.
Saat ini, sudah ada faksi-faksi baru yang muncul di partai pasca pemecatan Abdul Kadir Karding dari jabatan sekretaris jenderal di tengah dinamika politik saat Pemilu 2019 lalu. Barisan sakit hati yang dipimpin oleh Karding bersama mantan Ketua DPP PKB Lukman Edy itu tidak hadir saat perhelatan Muktamar PKB di Bali pada 20-21 Agustus lalu.
Belajar dari sejarah panjang PKB dengan konflik, tutur Imron, Muhaimin perlu lebih berhati-hati. Konflik dan perpecahan internal antara kubu Muhaimin dengan kubu Gus Dur saat itu berdampak pada drastisnya penurunan suara PKB di Pemilu 2009. “Model-model tata kelola partai seperti saat ini jangan sampai mengulang sejarah dan menurunkan suara partai secara signifikan di Pemilu 2024,” ujarnya.