Mahasiswa Hong Kong, salah satu elemen penyumbang massa yang besar dalam unjuk rasa sejak Juni lalu, memboikot kuliah selama dua pekan pada awal tahun ajaran baru ini.
HONG KONG, KOMPAS — Para pemimpin mahasiswa Hong Kong, Kamis (22/8/2019), mengumumkan pemboikotan kuliah selama dua pekan pada awal tahun ajaran baru yang akan dimulai 2 September mendatang. Langkah itu diambil untuk mempertahankan unjuk rasa di jalan dan melanjutkan tekanan terhadap Pemerintah Hong Kong.
Hong Kong diguncang unjuk rasa dalam tiga bulan terakhir untuk menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi. Mahasiswa menyumbang massa yang besar dalam unjuk rasa di jalan-jalan hampir tiap hari. Para pemimpin mahasiswa, yang mewakili sebagian besar universitas utama di Hong Kong, menyatakan, mereka bakal absen kuliah pada 2-13 September.
Mereka mengancam dengan aksi lanjutan jika pemerintah tak memadai dalam merespons lima tuntutan pengunjuk rasa, termasuk pencabutan RUU Ekstradisi, penyelidikan independen atas kekerasan polisi dalam menangani unjuk rasa, dan lain-lain.
”Dua pekan seharusnya cukup bagi pemerintah untuk benar-benar memikirkan bagaimana memberikan respons,” kata Davin Wong, Pelaksana Tugas Ketua Persatuan Mahasiswa Universitas Hong Kong. ”Sementara situasi makin tegang, kami yakin situasi sosial bakal mendorong lebih banyak mahasiswa untuk ikut boikot.”
Wong menambahkan, dengan langkah boikot itu, para mahasiswa semakin memiliki lebih banyak waktu untuk ”memahami apa yang terjadi di masyarakat kami... apa yang dapat kami lakukan untuk masa depan kota kami”.
Kemarin, giliran para siswa memadati alun-alun di pusat kota Hong Kong untuk berunjuk rasa menuntut reformasi politik. Ratusan remaja memakai kaus hitam dan membawa payung di tengah cuaca panas pada siang menjelang sore.
Bank-bank di Hong Kong memublikasikan iklan satu halaman penuh di surat kabar berisi seruan pada penegakan hukum dan ketertiban di Hong Kong. Seruan itu disampaikan lewat iklan oleh HSBC, Standard Chartered, dan Bank of East Asia. ”Tolak kekerasan, perbaiki ketertiban sosial, dan jaga status Hong Kong sebagai pusat keuangan internasional,” kata Standard Chartered dalam iklannya.
Sejumlah perwakilan pusat perdagangan berlian terbesar di dunia, seperti Antwerp, Mumbai, dan Ramat Gan, meminta pengelola pameran menunda pameran berlian di Hong Kong, yang biasanya dikunjungi lebih dari 54.000 orang.
Dalam surat kepada pengelola pameran, Informa Markets, mereka mengatakan bahwa 30-40 persen peserta pameran mundur dari ajang yang akan digelar di AsiaWorld-Exposition dan Hong Kong Convention and Exhibition Centre, September.
Pengamanan bandara
Unjuk rasa diperkirakan masih akan terus berlangsung. Pemerintah Hong Kong menambah jumlah polisi di stasiun dan bandar udara sebagai antisipasi lanjutan unjuk rasa. Pengunjuk rasa telah menolak tawaran dialog dari Pemerintah Hong Kong dan tengah menyiapkan rangkaian unjuk rasa besar.
Di Bandara Internasional Hong Kong, pintu masuk diberi pembatas sementara. Hanya penumpang, pekerja maskapai, dan pekerja bandara yang boleh masuk. Kamis kemarin, sejumlah orang ditolak masuk karena bukan penumpang atau pekerja terkait bandara. Pengantar juga hanya boleh mengantar sampai pelataran depan bandara.
Pemeriksaan dilakukan bersama oleh polisi dan petugas keamanan bandara. Sejumlah polisi Hong Kong hilir mudik di area lapor penumpang dan kedatangan. Bandara itu pernah diduduki pengunjuk rasa selama empat hari sejak 9 Agustus 2019, menyebabkan ratusan penerbangan dibatalkan selama dua hari, 12-13 Agustus lalu.
Selain bandara, sasaran pendudukan adalah stasiun kereta. Pada Rabu malam, lebih dari 1.000 orang duduk diam di Stasiun Yuen Long. Di stasiun itu, pada 21 Juli 2019 terjadi kericuhan antara pengunjuk rasa yang berhadapan dengan polisi dan massa tidak dikenal.
Pada Jumat malam, organisasi-organisasi pelajar dan mahasiswa Hong Kong akan berunjuk rasa dengan cara bergandengan tangan. Mereka ingin membentuk rantai manusia, seperti pernah dilakukan penduduk negara-negara Baltik pada 30 tahun lalu saat ratusan ribu warga Lituania, Latvia, dan Estonia meratapi bersama hilangnya kemerdekaan pada pemerintahan Soviet.
”Hanya ada satu cara menghentikan unjuk rasa ini, penuhi lima tuntutan. Tidak ada negosiasi, tidak ada dialog. Tidak ada yang bisa mengatasnamakan massa, lalu berunding dengan pemerintah. Ini aspirasi bersama dan akan terus bergerak selama tuntutan tidak dipenuhi,” tutur Isaac Cheng, Wakil Presiden Demosisto, salah satu perkumpulan yang aktif dalam rangkaian unjuk rasa Hong Kong sejak 2014. (AP/AFP/REUTERS/SAM)