JAKARTA, KOMPAS – Dewan Perwakilan Rakyat memenuhi janjinya, membentuk panitia kerja untuk menjalankan amanat putusan Mahkamah Konstitusi untuk mengubah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Proses revisi Undang-Undang Perkawinan diharapkan bisa rampung dan disahkan dalam waktu kurang dari satu bulan sebelum periode 2014-2019 berakhir pada akhir September.
Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PDI-P Diah Pitaloka mengatakan, panitia kerja tersebut dibentuk dalam rapat tertutup Badan Legislasi DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis (22/8/2019). “Ada tiga poin utama yang menjadi sorotan terkait substansi revisi UU Perkawinan,” ujar Diah yang menjadi salah satu anggota Panja Revisi UU Perkawinan.
Pertama, terkait batas usia pernikahan bagi perempuan dengan prinsip dan semangat dasar untuk melindungi anak. Ini sesuai dengan putusan MK pada 2018 yang memerintahkan DPR dan pemerintah merevisi UU tersebut dlm waktu paling lambat tiga tahun
Kedua, terkait perlu tidaknya pasal dispensasi yang membolehkan pernikahan di bawah usia dengan alasan tertentu. Ini pasal yang kerap dijadikan dasar untuk memaklumi dan membenarkan pernikahan anak. Ketiga, terkait batasan substansi revisi UU Perkawinan, agar perubahan tidak melebar ke pasal-pasal lain di luar perintah putusan MK.
Menurut Diah, pengusul meyakini revisi UU Perkawinan tetap terbatas pada pasal tertentu sesuai putusan MK. "Semangatnya tetap revisi terbatas untuk melindungi anak. Namun, kami tahu ketika sudah di tangan DPR, persoalan jadi tidak sederhana, tetapi semangat dasar kami tetap akan mengupayakan perubahan terbatas," katanya.
Pengusul meyakini revisi UU Perkawinan tetap terbatas pada pasal tertentu sesuai putusan MK.
Disambut gembira
Pembentukan Panja Revisi UU Perkawinan disambut gembira oleh sejumlah kalangan termasuk pemerintah. Panitia kerja diharapkan bekerja cepat sehingga perubahan terbatas dalam UU Perkawinan akan segera terwujud.
“Pembentukan Panja akan lebih memuluskan pembahasan RUU Perubahan Terbatas tentang UU Perkawinan, karena sudah mewakili utusan dari masing masing fraksi,” ujar Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Dian Kartika Sari di Jakarta.
Dian menegaskan, RUU perubahan terbatas atas UU Perkawinan dapat disahkan sebelum jabatan anggota DPR periode 2014-2019 berakhir. Jika RUU tersebut disahkan, maka itu merupakan awal baru perjuangan hak anak dan kesetaraan jender.
Setelah panja terbentuk, Dian berharap Panja DPR yang akan merevisi UU Perkawinan segera menyusun jadwal sidang, dan pemerintah sebagai leading sector bersama kementerian lain yang terkait, solid dan bekerjasama dalam menyiapkan substansi dari materi perubahan terbatas dari UU tersebut.
Selain itu dalam proses pembahasan RUU Perubahan Terbatas UU Perkawinan sebanyak mungkin organisasi masyarakat sipil terlibat dalam proses pembahasan hingga pengesahan perubahan UU tersebut.
Pemerintah sudah siap
Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Lenny N Rosalin, juga sangat gembira dengan pembentukan panja tersebut. “Pemerintah sudah menyiapkan naskah akademis dan rancangan undang-undang nya, dan diharapkan dapat segera dibahas dengan Dewan Perwakilan Rakyat,” ujar Lenny.
Seperti diberitakan, MK pada 13 Desember 2018 memutuskan bahwa perkawinan anak, khususnya perempuan berusia 16 tahun, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal 7 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang mensyaratkan usia minimal perempuan menikah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun dinilai diskriminatif.
Adapun Pasal 7 Ayat (1) berbunyi, ”Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Dalam putusannya, MK memerintahkan pembentuk UU dalam jangka waktu tiga tahun mengubah UU itu.