Penunjukan Penjabat Kepala Daerah Jangan Sembarangan
›
Penunjukan Penjabat Kepala...
Iklan
Penunjukan Penjabat Kepala Daerah Jangan Sembarangan
Untuk penunjukan penjabat kepala daerah di 278 daerah yang masa jabatan kepala/wakil kepala daerahnya habis mulai 2022, selain harus memiliki kompetensi manajerial pemerintahan, harus pula memiliki pemahaman politik yang mumpuni.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penunjukan aparatur sipil negara yang akan menjadi penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan posisi kepala/wakil kepala daerah di 278 daerah mulai 2022 hendaknya tidak sembarangan. Selain harus memiliki kompetensi manajerial pemerintahan, penjabat kepala daerah juga harus memiliki pemahaman politik yang mumpuni.
Seperti diberitakan sebelumnya, akan ada 278 daerah dari total 548 daerah yang masa jabatan kepala/wakil kepala daerahnya habis pada 2022 dan 2023. Sementara mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), pilkada di daerah-daerah tersebut baru akan digelar pada 2024.
Maka, praktis, ratusan daerah itu akan dipimpin penjabat kepala daerah hingga pelantikan kepala/wakil kepala daerah terpilih hasil Pilkada 2024.
Berdasarkan Pasal 201 UU Pilkada, penjabat merupakan pejabat pengganti gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota yang masa jabatannya sudah habis. Penjabat diisi oleh aparatur sipil negara (ASN) yang menduduki jabatan pimpinan tinggi madya, baik di level pemerintah pusat maupun provinsi.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan, saat dihubungi Kompas dari Jakarta, Kamis (22/8/2019), mengatakan, pemerintah harus mempersiapkan kondisi di ratusan pemda tersebut sedini mungkin.
Untuk tahap awal, perlu ada pemetaan terkait ASN yang memenuhi syarat untuk menjadi penjabat kepala daerah. Dari sisi ketersediaan salah satunya.
Pemerintah hendaknya memprioritaskan ASN untuk memimpin daerah daripada mengambil dari pejabat berlatar belakang TNI/Polri seperti yang pernah terjadi pada Pilkada 2018.
”Jadi harus ada persiapan yang baik terlebih dulu, jangan nanti terburu-buru. Nanti tiba-tiba ada polisi dan tentara lagi yang diangkat menjadi penjabat kepala daerah,” kata Djohermansyah.
Bersamaan dengan itu, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) diharapkan memotivasi para ASN yang memenuhi syarat menjadi penjabat kepala daerah untuk mempelajari tugas pokok dan fungsi penjabat. Dengan demikian, ketika waktunya tiba, siapapun yang ditunjuk sudah siap untuk ditugaskan menjadi penjabat.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng juga mendorong pemerintah untuk menyiapkan kondisi di ratusan pemda tersebut mulai dari sekarang.
Salah satunya bisa dengan cara menggelar pelatihan untuk meningkatkan kapasitas para ASN yang telah memenuhi syarat menjadi penjabat kepala daerah.
Kapasitas yang perlu ditingkatkan, selain kompetensi manajerial pemerintahan, juga pemahaman akan politik. ASN yang ditunjuk harus bisa membaca dinamika politik lokal serta kultur masyarakatnya. Pemahaman ini penting untuk menjaga kondisi daerah tetap kondusif ketika tensi politik lokal saat pilkada menghangat.
Kepiawaian dalam menjalin relasi dengan pihak lain, seperti TNI/Polri dan penyelenggara pemilu, di wilayah penjabat bertugas, juga penting untuk ditekankan.
”Kerja sama dengan berbagai pihak juga penting karena tugas penjabat kepala daerah tidak hanya memastikan pemerintahan berjalan, tetapi juga memfasilitasi agar pilkada berlangsung lancar,” kata Robert.
Hal lain yang juga penting, mengingatkan mereka untuk tetap netral hingga pilkada tuntas. Sebab, berkaca pada pilkada sebelumnya, penjabat kepala daerah sering ditarik-tarik ke dalam kontestasi pilkada untuk mendukung salah satu calon kepala/wakil kepala daerah pada pilkada.
Kewenangan
Selain itu, pemerintah juga perlu memikirkan untuk memperkuat kewenangan yang dimiliki oleh penjabat kepala daerah. Jika tidak, roda pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik bisa terganggu.
Sejauh ini, kewenangan penjabat terbatas. Mereka tidak bisa mengambil kebijakan strategis tanpa persetujuan pejabat yang mengangkatnya. Untuk penjabat wali kota/bupati perlu persetujuan gubernur, sedangkan untuk penjabat gubernur butuh persetujuan menteri dalam negeri. Persetujuan dari pejabat terkadang memakan waktu lama.
”Penjabat nantinya tidak bisa memerintah dengan baik jika kewenangannya tidak jelas. Ia harus memiliki kewenangan yang hampir sama dengan kepala daerah definitif,” ujarnya.
Hal itu juga penting mengingat durasi kepemimpinan penjabat kepala daerah itu cukup panjang. Ada yang setahun bahkan dua tahun.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik mengatakan, pihaknya tengah memetakan kebutuhan ASN untuk mengisi posisi penjabat kepala daerah. Ihwal kewenangan penjabat yang terbatas juga menjadi salah satu hal yang dipikirkan. Pihaknya mengkaji kemungkinan agar penjabat bisa mengambil kebijakan strategis secara langsung.