Pemindahan Ibu Kota Dianggap Belum Patut Jadi Prioritas
›
Pemindahan Ibu Kota Dianggap...
Iklan
Pemindahan Ibu Kota Dianggap Belum Patut Jadi Prioritas
Pemerintah berencana memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke suatu wilayah di Kalimantan. Akan tetapi, hal ini dinilai tak patut jadi prioritas dalam kerangka pembangunan ekonomi nasional.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke suatu wilayah di Kalimantan. Akan tetapi, hal ini dinilai tak patut menjadi prioritas dalam kerangka pembangunan ekonomi nasional.
Menurut Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup periode 1983-1993 sekaligus ekonom senior Emil Salim, pemerintah saat ini seharusnya tidak memprioritaskan pemindahan ibu kota negara dalam lima tahun ke depan dalam kerangka pembangunan nasional.
”Pembangunan nasional seharusnya fokus pada sumber daya manusia (SDM) dalam lima tahun ke depan,” katanya saat ditemui dalam diskusi bertajuk ”Tantangan Persoalan Ekonomi Sosial dan Pemerintahan Ibu Kota Baru” yang digelar Institute for Development of Economics and Finance (Indef) di Jakarta, Jumat (23/8/2019).
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan, modal yang dibutuhkan untuk pemindahan ibu kota mencapai Rp 485 triliun sepanjang 2020-2024. Modal tersebut meliputi pengembangan yang melibatkan luas lahan 40.000 hektar dan penduduk 1,5 juta jiwa (Kompas, 17/8/2019).
Di sisi lain, berdasarkan data yang dihimpun, Emil mengatakan, kesenjangan pembangunan SDM (human capital gap) di Indonesia membutuhkan biaya Rp 5.300 triliun per tahun. Karena itu, dia berpendapat, pemerintah sebaiknya mengalokasikan dana untuk pemindahan ibu kota untuk salah satu komponen biaya dalam pembangunan SDM.
Jika dibandingkan dari sisi manfaat penggunaan anggaran, Emil berpendapat, pembangunan SDM lebih berdampak ekonomi daripada pemindahan ibu kota. Hal ini berkaitan dengan bonus demografi yang akan dialami Indonesia.
Meski demikian, bonus demografi tersebut terancam tidak bisa dinikmati Indonesia jika pembangunan SDM tidak berjalan. Badan Pusat Statistik mencatat, rata-rata indeks pembangunan manusia nasional pada 2018 berada di angka 71,39. Namun, hanya sembilan provinsi yang angkanya berada di atas rata-rata.
Emil juga menyoroti kemampuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) SDM Indonesia. Berdasarkan data yang dihimpunnya, sebanyak 11 provinsi di Indonesia memiliki keterampilan TIK di atas rata-rata nasional. Kemampuan ini dibutuhkan untuk berkreasi di era digital.
Indikator Programme for International Student Assessment yang menjadi ukuran tingkat literasi pelajar juga menjadi sorotan. Indonesia berada di peringkat 62 dari 70 negara. Emil menambahkan, ibu kota tak lagi tentang fisik dan keberadaan daerah, apalagi di era digital. ”Ibu kota seharusnya menunjukkan kemampuan konektivitas negara, baik dari sisi perhubungan maupun jaringan internet,” katanya.
Senada dengan Emil, Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Eko Prasojo mengatakan, pemerintah bisa menerapkan e-government untuk menjalankan tata kelola di era digital. Hal ini membutuhkan komitmen anggaran dalam membina aparatur negara.
Berdasarkan kajian Indef, Peneliti Indef M Rizal Taufikurahman memaparkan, anggaran investasi untuk pemindahan ibu kota tidak mendorong pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, pihaknya merekomendasikan pemerintah untuk meninjau ulang rencana pemindahan ibu kota. (JUD)