JAKARTA, KOMPAS - Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi atau Pansel KPK diminta untuk memerhatikan cacat etik yang kemungkinan dimiliki sebagian peserta seleksi. Pansel diminta untuk tidak "silau" dengan gagasan dan pemaparan tentang langkah-langkah memberantas korupsi yang dilontarkan para calon.
Sebaliknya, Pansel diminta untuk mengembangkan sikap kecurigaan atau berprasangka buruk dalam menilai sosok calon. Ini penting untuk mencegah calon-calon yang tidak layak menjadi pimpinan KPK periode 2019-2023
Hal tersebut muncul dalam diskusi publik bertajuk “Pesan Untuk Pansel Pimpinan KPK: Capim KPK Harapan Publik” yang digelar Jaringan Gusdurian di Rumah Pergerakan Griya Gus Dur, Jakarta, Kamis (22/8/2019). Hadir dalam diskusi tersebut, rohaniawan Katolik Romo Benny Susetyo, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama Rumadi Ahmad, rohaniawan dari Gereja Protestan Indonesia di bagian barat Pendeta Margie Ririhena Dewanna, dan cendekiawan NU Ulil Abshar Abdalla.
Rumadi mengatakan, proses seleksi yang tengah dilakukan saat ini semestinya lebih memfokuskan pada kemungkinan adanya cacat etik para calon. Kecurigaan cacat etik harusnya didahulukan ketimbang upaya untuk mengetahui kemampuan para calon memberantas korupsi. “Jangan silau dengan pemaparan (para calon) tentang upaya pemberantasan korupsi,” sebut Rumadi.
Ia menambahkan, jika hal itu yang terjadi, maka ada kemungkinan besar bahwa cacat etik yang dimiliki calon akan tertutupi dan dilupakan. Cacat etik juga mencakup pernyataan publik soal calon bersangkutan yang mungkin bertentangan dengan upaya pemberantasan korupsi.
Pansel KPK rencananya akan mengumumkan nama-nama calon yang lolos tahapan seleksi profile assessment pada Jumat (23/8) ini. Calon yang lolos akan mengikuti seleksi tahap berikutnya, yaitu tes kesehatan, wawancara, dan uji publik.
Sementara menurut Ulil, pemilihan calon pemimpin KPK mesti dilakukan dengan sudut pandang berprasangka buruk (suudzon) terhadap para calon. Hal ini merupakan pendekatan terbalik dari ajaran agama dalam kehidupan sosial sehari-hari yang menganjurkan agar berprasangka baik (husnudzon).
“Publik harus suudzon untuk (memilih) capim KPK, dan ini berlaku untuk (memilih) pejabat publik (lain). Dalam memilih pejabat publik, harus menggunakan prinsip semua (calon dianggap berpotensi) jahat,” sebut Ulil.
Sementara Benny meminta Pansel KPK mendengarkan suara hati dan memerhatikan rekam jejak para calon. Pansel juga diminta untuk mendengarkan masukan dan kritik dari masyarakat.
Adapun menurut Margie, korupsi sebagai kejahatan luar biasa memerlukan pula perlakuan secara luar biasa. Ia mengatakan, perlakuan itu mestinya dimulai sejak proses memilih orang-orang yang akan bertugas untuk memilih para capim KPK.