Penanganan pencari suaka dan pengungsi asing didiskusikan jajaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjelang penutupan penampungan sementara di Daan Mogot Baru, 31 Agustus nanti.
JAKARTA, KOMPAS Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan menegakkan hukum dan peraturan daerah dalam menangani pengungsi asing dan pencari suaka. Selama ini, pendekatan yang dilakukan hanya sebatas diskusi dengan mereka.
”Apabila menggunakan fasilitas sosial dan fasilitas umum, misalnya berdiam di trotoar sehingga mengganggu umum, akan ditertibkan,” kata Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta Arifin, Kamis (22/8/2019), di Jakarta.
Menurut Arifin, kini belum ada persiapan khusus menjelang penutupan penampungan di lahan eks Kodim Jakarta Barat milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Lintas satuan kerja perangkat daerah akan menyiapkan tindakan selanjutnya.
Satpol PP DKI Jakarta terus menjaga sampai pencari suaka dan pengungsi asing itu meninggalkan lokasi. Mulai Kamis kemarin, layanan makanan, air bersih, dan kesehatan dihentikan. Selama ini, sedikitnya 30 petugas Satpol PP DKI Jakarta berjaga 24 jam.
Selain di lokasi penampungan, petugas Satpol PP DKI Jakarta juga menjaga unjuk rasa yang terus digelar pencari suaka dan pengungsi di depan Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) di Jalan Kebon Sirih. Unjuk rasa tersebut dilakukan setiap hari sampai malam.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DKI Jakarta Taufan Bakri menegaskan kepada UNHCR agar menyampaikan kepada pengungsi asing dan pencari suaka untuk menaati hukum. Dalam berunjuk rasa, menurut Taufan, mereka melanggar Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang menyampaikan pendapat di muka umum. Selama ini mereka belum memberi tahu polisi.
Selain itu, mereka juga melanggar Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang ketertiban umum. ”Satpol PP akan berkoordinasi dengan kepolisian, menanyakan dulu apakah sudah diberikan surat izin untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Kalau tidak ada, perda diterapkan,” ujarnya.
Hal lain, selama ini belum ada aturan ataupun anggaran yang disiapkan untuk masalah pengungsian asing tersebut. Taufan mengatakan, masalah pengungsi bukan tugas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dalam catatan UNHCR di Indonesia, secara akumulasi hingga Juli 2019 terdapat sekitar 13.800 pencari suaka. Enam tahun terakhir, jumlah pencari suaka yang datang terus menurun.
Tahun 2013, misalnya, sebanyak 8.300 pencari suaka masuk ke Indonesia dan turun menjadi 5.600 orang pada tahun 2014. Lalu menjadi 4.400 orang pada 2015 dan kembali turun menjadi 3.100 orang pada 2016. Kemudian, jumlahnya turun menjadi 2.000 orang pada 2017 dan 1.567 orang pada 2018. UNHCR tidak merinci penyebab penurunan itu.
Beberapa pengungsi yang ditemui Kompas mengatakan, mereka tidak mematok nama satu negara maju yang dijadikan tujuan akhir. ”Yang penting ke negara ketiga,” kata Ali Reza Barbari, pengungsi asal Afghanistan. Namun, ditengarai, penguatan kebijakan Australia yang menutup perbatasan laut mereka dari perahu-perahu pengungsi membuat jalur Indonesia-Australia tidak lagi populer. (IRE/JOS/*)