Tambang emas tak berizin masih terus beroperasi di lima kabupaten di Aceh, yakni Aceh Barat, Aceh Tengah, Nagan Raya, Aceh Selatan, dan Pidie. Pembiaran aktivitas ini memicu kerusakan alam dan mengundang bencana ekologi.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS - Tambang emas tak berizin masih terus beroperasi di lima kabupaten di Aceh, yakni Aceh Barat, Aceh Tengah, Nagan Raya, Aceh Selatan, dan Pidie. Pembiaran aktivitas ini memicu kerusakan alam dan mengundang bencana ekologi.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Muhammad Nur, Jumat (23/8/2019), menuturkan, hasil peninjauan lapangan yang mereka lakukan menunjukan masih maraknya aktivitas penambangan. Padahal, tahun lalu, lokasi-lokasi itu pernah ditutup.
Lokasi tambang emas ilegal di Kecamatan Sungai Mas (Aceh Barat), Linge (Aceh Tengah), Beutong (Nagan Raya), Manggamat (Aceh Selatan), dan Geumpang (Pidie). “Tambang emas ilegal itu merusak fisik sungai. Dampak besarnya juga berpotensi memicu banjir bandang,” kata Nur.
Tambang emas ilegal itu merusak fisik sungai. Dampak besarnya juga berpotensi memicu banjir bandang
Nur mengatakan, di Aceh Barat aktivitas tambang ilegal menggunakan alat berat dan melibatkan puluhan pekerja. Informasi yang dihimpun Walhi, pekerjanya berasal dari beberapa kabupaten di Aceh. Selain itu, lanjut Nur, lokasi tambang emas berada di hulu sungai yang masuk dalam kawasan hutan lindung. Dia mengatakan, kerusakan daerah aliran sungai juga akan berakibat pada persediaan air bagi warga.
Khusus di Aceh Barat, lanjut Nur, secara ekologis keberadaan tambang emas ilegal di kawasan Sungai Mas akan berdampak bencana terhadap beberapa kecamatan yang berada di hilir seperti Kecamatan Woyla, Woyla Timur, Woyla Barat, Arongan Lam Balek, Sama Tiga, dan Kecamatan Pantai.
“Pemerintah jangan menutup mata karena dampaknya sangat buruk. Jangan menunggu bencana baru kita sadar,” kata Nur.
Sementara tambang di Geumpang, juga berada dalam kawasan hutan lindung. Pada 2017, aparat polisi pernah menutup lokasi tambang. Namun, belakangan kembali marak. Nur mengatakan, pemisahan emas dari batu dan lumpur juga menggunakan merkuri, zat kimia berbahaya.
Pertambangan emas ilegal mulai marak sejak tahun 2006 namun hingga kini belum berhasil dihentikan. “Kami mendesak Pemprov Aceh dan penegak hukum untuk menutup tambang itu,” kata Nur.
Kepala Bidang Pertambangan Mineral di Dinas Energi Sumber Daya Mineral Aceh Said Faisal mengatakan, penertiban tambang ilegal tidak mudah, sebab melibatkan oknum tertentu. Beberapa kali tim yang turun ke lapangan mendapatkan perlawanan para penambang. Faisal mengatakan, penutupan tambang ilegal membutuhkan kerja sama dari lintas sektor baik pemerintah kabupaten, aparat penegak hukum, dan pemerintah provinsi.
Sebelumnya, Bupati Pidie Roni Ahmad mengatakan, tambang rakyat yang terdapat di dalam hutan di Geumpang memicu kerusakan lingkungan. Sebelum kerusakan lebih masif terjadi, kata Roni, tambang itu harus dihentikan.
Akan tetapi, Pemkab Pidie tidak bisa serta merta menutup tanpa melakukan dialog dan sosialisasi kepada warga petambang. Oleh sebab itu, kata Roni, untuk langkah awal pihaknya mengeluarkan seruan bersama agar warga berhenti menambang.
“Saat ini masih himbauan, tapi pada akhirnya akan sampai pada penutupan. Himbauan ini sama dengan penertiban, agar mereka tidak menambang serampangan,” kata Roni.
Aktivitas pertambangan emas ilegal di hutan Geumpang mulai marak pada tahun 2006. Penambang bukan hanya warga setempat, tapi juga dari Pulau Jawa. Himbauan penghentian aktivitas tambang ilegal itu juga pernah dikeluarkan pada tahun 2014. Namun, aktivitas pertambangan sampai kini terus berlanjut.