Usulan revisi tata ruang Bengkulu akan menggusur habitat gajah sumatera dan harimau sumatera. Pemerintah memastikan kawasan konservasi ini tetap terjaga dan dipertahankan.
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memastikan tetap menjaga kawasan konservasi terkait usulan revisi tata ruang Bengkulu. Ini menjawab kegelisahan dan kekhawatiran sejumlah pihak akan isi usulan tersebut yang akan menggusur sekitar 1.931 hektar Taman Wisata Alam Seblat, habitat gajah sumatera penting setempat serta lokasi lain yang menjadi tempat hidup gajah dan harimau sumatera.
Apabila status daerah tersebut diubah dari kawasan hutan menjadi area penggunaan lain (APL), ekosistem hutan setempat akan berubah menjadi perkebunan maupun tambang. Kondisi ini bisa menambah rentetan konflik satwa liar dan manusia yang telah berulang terjadi di Bengkulu, maupun Sumatera.
Dalam usulan revisi tata ruang tersebut, Bengkulu menginginkan pelepasan kawasan hutan seluas 53.000 hektar dan perubahan fungsi kawasan hutan seluas 13.000 hektar. Rekomendasi ini telah dibahas internal KLHK pada 20 Agustus 2019 dengan hasil pembentukan tim terpadu untuk mengkajinya.
Bengkulu menginginkan pelepasan kawasan hutan seluas 53.000 hektar dan perubahan fungsi kawasan hutan seluas 13.000 hektar.
Ditanya terkait hal tersebut, Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono, Jumat (23/8/2019), di Jakarta, mengatakan salah satu pertimbangan dalam usulan perubahan peruntukan dan fungsi tersebut adalah cakupan kawasan hutan suatu daerah. Untuk daerah dengan luas kawasan hutan kurang dari 30 persen, perubahan peruntukan sulit dilakukan untuk menjaga keberlangsungan fungsi ekologis hutan bagi kehidupan setempat.
Namun soal ancaman perubahan peruntukan bagi keberlanjutan habitat gajah di TWA Seblat dan kawasan hutan lain, ia mengatakan, pihaknya tetap mengutamakan perlindungan bagi kawasan konservasi. “Prinsip konservasi tetap dipertahankan. Konservasi tetap jamin habitat satwa. Tetap harus dilakukan penelitian tim terpadu,” kata Bambang.
Dihubungi di Bengkulu, Uli Arta Siagian, Direktur Genesis mengatakan analisa terhadap usulan revisi tata ruang Bengkulu menunjukkan 53.000 hektar area yang diusulkan Gubernur Bengkulu untuk dilepaskan dari kawasan hutan, sejumlah 40 persen masih dibebani izin pertambangan dan 28 persen pernah dibebani izin pertambangan (sudah dicabut).
Khusus di TWA Seblat, Bengkulu mengusulkan pelepasan 1.931 hektar kawasan hutan konservasi dan penurunan 246 hektar di antaranya menjadi hutan produksi yang dapat dikonversi. Ia pun menunjukkan sekitar 20 persen izin usaha pertambangan perusahaan tambang emas IA, berada di area tersebut.
Selain di TWA Seblat, habitat gajah lain yang juga diusulkan dalam pelepasan kawasan hutan, yaitu Hutan Produksi Terbatas (HPT) Lebong Kandis seluas 1.436 hektar dan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) Seblat.
Usulan pelepasan kawasan hutan juga menyasar habitat harimau sumatera di HPT Bukti Badas (3.375 hektar) dan Taman Buru Semidang Bukit Kabu. “Artinya pelepasan itu kalau tidak hati-hati akan meningkatkan eskalasi konflik satwa dan habitat kunci satwa,” kata dia.
Pelepasan kawasan hutan itu kalau tidak hati-hati akan meningkatkan eskalasi konflik satwa dan habitat kunci satwa.
Diduga modus
Genesis bersama enam organisasi masyarakat sipil di Bengkulu mencurigai usulan revisi tata ruang ini merupakan modus untuk memanfaatkan program reforma agraria. “Masyarakat hanya jadi legitimasi. Karena kalau dilihat, aktor yang mendapatkan keuntungan itu korporasi.,” kata Uli Artha.
Dalam lembar fakta yang disampaikan ketujuh organisasi tersebut menyebutkan terdapat empat perusahaan kebun sawit dan delapan perusahaan pertambangan yang diduga menunggangi revisi tata ruang Bengkulu. Empat perkebunan skala besar tersebut telah beraktivitas sejak 12-13 tahun di kawasan hutan.
Terkait ketelanjuran ini, pemerintah melalui PP 60/2012 (tentang Perubahan PP 10 tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan) telah memberi kesempatan “pemutihan” bagi perkebunan di kawasan hutan untuk mengurus izin pelepasan kawasan hutan. Namun perkebunan itu tak memanfaatkan pengampunan dari pemerintah.
“Sekarang kami mendesak negara untuk memaksa perusahaan untuk memulihkan lahan dan mengembalikannya pada negara,” kata dia.
Terkait ketelanjuran kebun sawit di kawasan hutan Bengkulu tersebut, Sekjen Bambang Hendroyono mengatakan usulan revisi tata ruang tak akan menghentikan proses penegakan hukum. “Penegakan hukum tetap jalan. Tidak berarti perubahan fungsi itu nanti (bisa) lepas hukum. Apalagi kalau ada pihak swastanya. Kalau berbasis masyarakat akan dipertimbangkan,” kata dia.