Agar Lestari, Kesenian Tradisional Harus Terus Dimainkan
›
Agar Lestari, Kesenian...
Iklan
Agar Lestari, Kesenian Tradisional Harus Terus Dimainkan
Tidak perlu rumusan panjang untuk melestarikan kesenian tradisional. Agar tetap langgeng melewati waktu, kesenian tersebut cukup rutin dimainkan dan dipentaskan.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS - Tidak perlu rumusan panjang untuk melestarikan kesenian tradisional. Agar tetap langgeng melewati waktu, kesenian tersebut cukup rutin dimainkan dan dipentaskan.
Demikian dituturkan dalam oleh Sitras Anjilin, pimpinan Pedepokan Tjipta Boedaja di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dalam acara diskusi literasi di acara Festival Tlatah Bocah XVIII di Desa Sriwedari, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Minggu (25/8/2019).
Padepokan Tjipta Boedaja yang berdiri sejak tahun 1937, sejak dahulu mengembangkan kesenian tradisional tari, bela diri dan macapat. Warga di Dusun Tutup Ngisor, juga sudah sangat terbiasa menonton dan berlatih beragam kesenian tersebut di padepokan.
Oleh karena itu, menurut dia, kesenian tradisional yang dikembangkan di padepokan, pada akhirnya juga menjadi kesenian “wajib” dan dipelajari warga, dari generasi ke generasi. Kebiasaan berlatih itu pun tidak pupus sekalipun anak-anak di masa sekarang sudah mulai mengenal dan memegang telepon selular.
“Ketika sudah tiba jadwal latihan menari, anak-anak pasti akan langsung berdatangan ke padepokan. Mereka tidak keberatan untuk menari sekalipun di padepokan ditetapkan aturan tidak boleh membawa telepon selular saat latihan,” ujarnya.
Latihan menari sudah menjadi hal rutin yang biasa dilakukan anak-anak. Segala aktivitas berkesenian selalu suka cita dilakukan karena sejak kecil mereka sudah terbiasa melihat kakek, ayah, dan kakaknya, juga pentas dan berkesenian.
“Anak-anak ingin meniru apa yang sudah dilakukan kakek, ayah, dan kakeknya di atas pentas,” ujarnya.
“Ketika sudah tiba jadwal latihan menari, anak-anak pasti akan langsung berdatangan ke padepokan. Mereka tidak keberatan untuk menari sekalipun di padepokan ditetapkan aturan tidak boleh membawa telepon selular saat latihan,” kata Sitras.
Dahulu, Sitras mengatakan, ayahnya, Romo Yoso Sudarmo yang juga menjadi pendiri Padepokan Tutup Ngisor, sama sekali tidak pernah meminta anak-anaknya untuk meneruskan berkesenian. Jika memang terhadang kemajuan jaman, Romo Yoso Sudarmo juga mengijinkan padepokan untuk ditutup atau dibubarkan. Namun, karena kecintaan keluarga besarnya pada kesenian, Padepokan Tjipta Boedaja terus ada dan bahkan menjadi tempat pembelajaran kesenian dari masyarakat dalam dan luar negeri.
Sama seperti ayahnya, Sitras pun juga mengatakan kepada murid-muridnya bahwa mereka bebas untuk melanjutkan berkesenian tradisional atau tidak. Mereka juga dibebaskan untuk menentukan pilihan apakah akan tetap bertahan pada kesenian tradisional atau akan beralih ke kesenian modern atau kontemporer. Namun, pada akhirnya, banyak murid, termasuk warga Dusun Tutup Ngisor sendiri, masih tetap bertahan dengan kesenian yang diajarkan oleh Sitras.
“Bagi sebagian murid-murid termasuk warga, kesenian tradisional yang dilakoni saat ini sudah menjadi kebiasaan rutin yang melekat seperti mandi atau makan,” ujarnya.
Fenomena kesenian tradisional yang terus dimainkan masyarakat, juga terjadi pada kesenian tradisional jaran kepang di Kabupaten Temanggung. Kristiawan (25), salah seorang pengurus Kelompok Kesenian Turonggo Jati di Kecamatan Temanggung, mengatakan, lebih dari 10 anak yang tergabung dalam kelompok kesenian Turonggo Jati, biasanya akan rutin datang dua kali seminggu pada jadwal latihan yang ditentukan.
Latihan jaran kepang dianggap menjadi latihan yang tidak boleh ditinggalkan sekalipun mereka memiliki pilihan lain seperti bermain bola atau layang-layang. Antusiasme menari ini muncul karena sebelumnya anak-anak ini juga terbiasa menonton dan juga biasa diajari menari jaran kepang oleh ayahnya.
Setiap kali latihan, menurut dia, setiap anak pun terlihat sangat antusias. Dimulai mulai pukul 15.00, latihan baru akan usai sekitar pukul 17.30.
“Ketika merasa ada gerakan yang belum bisa dilakukan dengan baik, maka anak-anak biasanya akan terus meminta latihan terus dilanjutkan hingga gerakan itu bisa dimainkan dengan benar,” ujarnya.
Kesenian jaran kepang kini demikian digemari masyarakat Kabupaten Temanggung. Memasuki tahun 2010, jumlah kelompok kesenian jaran kepang terus bertambah, dan berkembang ada di setiap desa bahkan hingga tiap RW.