Mengutip peta risiko fiskal tahun 2020, yang dihitung Kementerian Keuangan, BUMN menjadi sumber risiko fiskal terbesar bagi APBN. Risiko BUMN dalam pembangunan infrastruktur ada di level 4 dari skala 1-5 pada sumbu dampak (impact). Level risiko BUMN sama dengan risiko penerimaan pajak.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Risiko fiskal tidak hanya bersumber dari realisasi penerimaan pajak yang meleset ataupun belanja pemerintah pusat yang meningkat. Beban APBN juga semakin berat manakala utang dan alokasi dana untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terus tumbuh.
Mengutip peta risiko fiskal tahun 2020, yang dihitung Kementerian Keuangan, BUMN menjadi sumber risiko fiskal terbesar bagi APBN. Risiko BUMN dalam pembangunan infrastruktur ada di level 4 dari skala 1-5 pada sumbu dampak (impact). Level risiko BUMN juga sama dengan risiko penerimaan pajak.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra PG Talattov mengatakan, semakin tinggi level berarti risiko bagi APBN semakin besar. Wujud risiko BUMN yang harus ditanggung APBN tercermin dalam kewajiban kontinjensi (contingent liability) dan alokasi penyertaan modal negara (PMN).
“Tekanan terhadap fiskal sangat tinggi. Akibatnya, defisit fiskal terus berlanjut dan utang pemerintah pusat terus meningkat,” kata Abra dalam diskusi bertajuk "Utang dan Defisit APBN", di Jakarta, Minggu (25/8/2019).
Abra mengatakan, alokasi PMN untuk BUMN sepanjang 2015-2018 mencapai Rp 130,3 triliun. Namun, besarnya alokasi PMN tidak berdampak positif bagi kinerja BUMN. Banyak BUMN justru menghadapi tekanan keuangan yang akhirnya kembali membebani APBN.
Data Kementerian BUMN menunjukkan, total utang perusahaan BUMN pada 2018 sebesar Rp 2.394 triliun. Utang itu di luar dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp 3.219 triliun. Utang perusahaan BUMN tahun 2018 itu meningkat dibandingkan utang 2017 yang sebesar Rp 1.623 triliun.
Berdasarkan data yang dihimpun Kompas dari berbagai sumber, peningkatan utang paling signifikan dilakukan BUMN Karya atau bidang konstruksi. Setelah itu, BUMN yang bergerak di sektor kepelabuhan, bandara, dan kelistrikan.
Lonjakan utang tertinggi, yakni PT Waskita Karya Tbk dari Rp 3,2 triliun tahun 2014 menjadi Rp 61,7 triliun tahun 2018 atau naik nyaris 20 kali lipat. Adapun utang PT Pembangunan Perumahan Tbk, PT Hutama Karya, PT Adhi Karya Tbk, dan PT Wijaya Karya Tbk, meningkat 3-4 kali lipat pada 2014-2018.
Abra mengatakan, laba BUMN juga terus turun dalam 3 tahun terakhir. Kondisi ini seharusnya menyiratkan pesan bagi pemerintah bahwa ada persoalan riil yang dihadapi BUMN. Salah satu penyebabnya, penugasan pemerintah yang dinilai cukup berat, terutama proyek infrastruktur.
“Pemerintah tidak boleh memaksakan BUMN mengerjakan proyek penugasan. Berikan BUMN kesempatan untuk meninjau ulang studi kelayakan dari tiap proyek yang diinisiasi pemerintah, apakah proyek-proyek tersebut memang layak secara bisnis,” kata Abra.
Gandeng swasta
Menurut dia, risiko bisnis yang ditanggung BUMN akan berimbas terhadap kinerja APBN baik dari aspek pengeluaran, PMN, maupun penerimaan pajak. Oleh karena itu, pemerintah harus menggandeng lebih banyak peran swasta untuk pembangunan infrastruktur masa depan.
Kebutuhan investasi tahun 2020 diperkirakan mencapai Rp 5.668 triliun. Kontribusi BUMN ditargetkan 10 persen atau sekitar Rp 572,5 triliun. Adapun alokasi PMN terbesar tahun 2020 untuk PT PLN sebesar Rp5 triliun dan PT Hutama Karya Rp 3,5 triliun.
Batas aman
Secara terpisah, Kepala Pusat Kajian Ekonomi Makro LPEM Universitas Indonesia Febrio Kacaribu mengatakan, peran swasta dalam pembangunan infrastruktur selama empat tahun terakhir nyaris tidak ada. Hampir semua proyek dibangun BUMN sehingga utang mereka naik signifikan. Meski demikian, penarikan utang masih dalam batas aman.
Menurut Febrio, BUMN karya dinilai mampu membayar utang jangka pendek yang tercermin dalam rasio lancar (current ratio) di atas 100 persen.
Jumlah aset likuid lebih besar dari kewajiban likuidnya, sehingga utang jangka pendek tidak masalah. Meskipun hampir semua indikator dalam batas aman, tetapi risiko pembiayaan dan manajemen tetap ada.
Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro, menuturkan, sejauh ini belum ada indikasi BUMN akan gagal bayar utang. BUMN melakukan kalkulasi cukup cermat antara kebutuhan penarikan utang dan prospek keuntungan proyek.
Menurut Bambang, kebutuhan pembiayaan infrastruktur akan kembali meningkat pada 2020-2024 menjadi sekitar Rp 6.000 triliun. Oleh karena itu, pemerintah berupaya mengurangi beban penugasan ke BUMN dengan mendorong keterlibatan swasta. Salah satunya melalui kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) sebagai alternatif pembiayaan.