Perjuangan Ekstra Mitra Statistik
Setiap bulan, Afzal (26) harus mengeluarkan usaha ekstra demi menuntaskan tugasnya. Ia biasa menyeberang sungai untuk mencapai lahan sawah yang dituju. Tidak jarang, ia juga harus “berteman” dengan lintah-lintah yang ditemui di lokasi.
Afzal merupakan mitra statistik dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh. Tugasnya tidak lain adalah mengamati kondisi padi di sawah yang menjadi sampel dari metode Kerangka Sampel Area (KSA), sebuah metodologi penghitungan data produksi padi.
“Alam menjadi tantangan bagi petugas di lapangan. Di Kalimantan dan Sulawesi, mereka bahkan bertemu ular kobra dan buaya ketika mengumpulkan data,” tutur Direktur Statistik Tanaman Pangan dan Hortikultura Badan Pusat Statistik (BPS), Hermanto di sela-sela peninjauan di Desa Bithak, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, Rabu (31/7/2019).
KSA dikembangkan oleh BPS dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Sejak berlaku secara nasional pada 2018, KSA menggantikan eye estimate, sebuah metode penghitungan beras tradisional yang selama ini menciptakan perdebatan terkait tingkat akurasinya.
KSA memadukan data lapangan dan data spasial untuk mengamati serta menghitung produksi padi. Sekitar 24.000 lahan sawah digunakan sebagai sampel atau yang disebut sebagai segmen. Satu segmen memiliki luas sembilan hektar yang kemudian dibagi menjadi sembilan sub-segmen atau titik amatan.
Penentuan segmen dilakukan oleh BPS dengan menggandeng Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Badan Informasi Geospasial, serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). KSA dilakukan secara berkala, tepatnya selama tujuh hari di setiap akhir bulan.
Banyaknya jumlah segmen membuat tenaga lapangan yang dibutuhkan tidak sedikit. Apalagi, segmen juga terletak di daerah terpencil sehingga sulit dijangkau manusia. Untuk itu, BPS mengerahkan setidaknya 8.000-9.000 petugas untuk “berburu” data di lapangan.
Aplikasi KAS
Ketika tiba di sebuah segmen, petugas harus membuka aplikasi KAS di ponsel pintar yang telah membagi segmen itu menjadi sembilan titik amatan dalam setiap kotak. Petugas harus berjalan menuju titik koordinat merah yang ada di dalam kotak. Selanjutnya, petugas mengambil foto, memasukkan informasi keadaan padi, dan mengirim data tersebut.
“Dengan KSA, petugas dituntut untuk langsung pergi ke lokasi sawah. Banyak temuan baru di lapangan, misalnya, lokasi yang selama ini dianggap sawah ternyata sudah menjadi bangunan atau malahan adalah sungai. Data juga tidak bisa ditipu,” tutur Hermanto.
BPS akan mengolah dan menganalisis data yang telah diperoleh. Data lalu dikirim setiap awal bulan ke berbagai pemangku kepentingan, seperti Badan Urusan Logistik (Bulog), Kementerian Pertanian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, serta KSP.
Pada September 2018, misalnya, BPS memiliki 24.233 segmen sebagai sampel KSA. Para mitra statistik waktu itu berhasil mendata 24.185 segmen atau total 217.665 titik amatan.
Hermanto meyakini, KSA dapat menghadirkan data mengenai produksi padi dengan lebih objektif, akurat, dan cepat. Tidak hanya itu, KSA juga memberikan data aktual mengenai pola dan fase pertanaman padi.
Penggunaan KSA akhirnya merevisi berbagai data yang selama ini digunakan dalam pembuatan kebijakan. Luas baku sawah berkurang dari 7,75 juta hektar (ha) tahun 2013 menjadi 7,1 juta ha tahun 2018. Dengan demikian, potensi produksi beras juga ikut berubah.
Informasi yang beragam dan mendetail mengenai padi akan sangat membantu pemerintah dalam membuat kebijakan strategis secara efektif, khususnya mengenai impor, inflasi, dan deflasi. Harapannya, data tersebut juga akan memperbaiki kesejahteraan petani dan mendorong ketahanan pangan nasional.
Kepala Subdirektorat Statistik Tanaman Pangan BPS Kadarmanto menambahkan, data produksi beras yang lebih valid turut bermanfaat untuk menghitung efektivitas potensi penggunaan air, pupuk, dan benih. Alokasi anggaran subsidi pemerintah bagi petani tidak mampu akan semakin tepat sasaran.
Perbaikan dan pengembangan
Anggota Forum Masyarakat Statistik, Saiful Mahdi, berpendapat, implementasi metode KSA masih memiliki ruang perbaikan. Salah satunya adalah memperbaiki sampel untuk meningkatkan keakurasian data secara nasional.
Data KSA menemukan koefisien variasi (coefficient of variation/COV) daerah non-sentra padi lebih tinggi dibandingkan daerah sentra. Sebagai contoh, koefisien variasi di Jakarta dan Tangerang Selatan sebagai daerah non-sentra di atas 60 persen, sementara itu sentra penghasil padi justru di bawah 2 persen.
“Kalau dibilang, sawah di Jakarta lebih sedikit maka seharusnya data sampel lebih akurat. Salah satu pemaknaan data temuan adalah bisa jadi sampel kurang sehingga koefisien variasi-nya jomplang,” kata Saiful.
Ia melanjutkan, pemerintah juga perlu menyediakan fasilitas dan perlindungan mitra statistik di lapangan. Para petugas menggunakan gawai milik sendiri ketika mengambil data dan tidak memiliki asuransi di tengah pergerakan mereka yang begitu fleksibel di lapangan.
Namun, lanjut Saiful, implementasi KSA dan pemanfaatan teknologi hingga perdesaan menunjukkan Indonesia telah berada di jalur yang benar untuk mencari, menyalurkan, dan mengolah data nasional.
Hermanto menambahkan, penghitungan produksi padi menggunakan KSA akan dikembalikan kepada tingkat sektoral ketika instansi terkait telah mampu melaksanakannya. BPS nantinya akan berfungsi sebagai pembina untuk mengontrol validitas data.
Teknologi canggih
Menurut Hermanto, BPS turut menguji keakuratan data KSA menggunakan pesawat nirawak atau drone di Indramayu, Jawa Barat, pada Juni 2019. Hasil uji coba menunjukkan data KSA cukup akurat.
Metode KSA sangat berpotensi besar untuk menggunakan drone, terutama di daerah-daerah terpencil. Drone dapat mengumpulkan data dengan lebih cepat, meskipun tidak dapat dipungkiri anggaran yang dibutuhkan tidak sedikit.
“Penggunaan teknologi canggih berarti akan mempercepat waktu untuk memeroleh data. Hal ini bisa menjadi catatan, terutama untuk memeroleh data komoditas pangan strategis lainnya, seperti jagung, cabai, bawang, tebu, kakao, kelapa, dan kelapa sawit,” tutur Hermanto.