Tol Laut NTT Tak Hilangkan Disparitas Harga
Setelah diterapkan delapan bulan lebih, program tol laut
di Nusa Tenggara Timur belum juga berdampak. Disparitas harga tetap tinggi. Banyak yang malah keberatan kapal tol laut berlabuh karena hanya menyesaki pangkalan labuh.
KUPANG, KOMPAS —Program tol laut yang dioperasikan pada akhir Desember 2018 di Nusa Tenggara Timur belum dirasakan masyarakat dan mayoritas pengusaha lokal. Sejumlah pihak malah menyebut penerapan kebijakan tol laut lebih banyak menguntungkan pengusaha tertentu yang memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Sesuai semangat awalnya, kebijakan mobilitas kapal pengangkut barang itu dimaksudkan mengurangi disparitas harga barang-barang di kepulauan.
Sabtu (24/8/2019), dalam pertemuan dengan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita di Kupang, NTT, Wakil Bupati Flores Timur Agustinus Payong Boli menyatakan, tujuan dari tol laut adalah menekan disparitas harga bahan pokok, ternyata tidak. Padahal kapal- kapal program tol laut mendapat subsidi ongkos angkut dari pemerintah.
”Harga bahan pokok di masyarakat terus bergerak naik, sedangkan hasil komoditas pertanian dan perkebunan masyarakat cenderung turun. Ada apa dengan kapal tol laut ini? Setelah ditelusuri, ternyata ada beberapa pengusaha memanfaatkan tol laut untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Bahkan, ada mobil pribadi dan barang elektronik oknum pengusaha diselundupkan di dalam tol laut,” tutur Payong Boli.
Turut hadir dalam pertemuan itu Dirjen Pemasaran Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Suhanto dan Wakil Gubernur NTT Josef A Nae Soi.
Payong mengatakan, pengusaha di Flores Timur yang ditemui beralasan, biaya pengangkutan bahan pokok dari kapal ke pelabuhan dan dari pelabuhan ke gudang melonjak.
Jika hal itu benar, ia berharap program penekanan harga bahan pokok melalui kapal tol laut ini diikuti kebijakan lain. Selain itu, barang yang diangkut kapal tol laut juga diberi label khusus untuk menghindari pengangkutan barang pengusaha yang menyalahi ketentuan.
Ketiadaan dampak dari beroperasinya program tol laut ini, menurut Payong Boli, juga menyebabkan munculnya penolakan masyarakat atas kapal tol laut di Pelabuhan Larantika. Kapal tol laut itu hanya menyesaksi pangkalan labuh.
Di tempat sama, Bupati Sabu Raijua Nikodemus Rihi Heke juga mengusulkan sebaiknya kapal tol laut dari Surabaya langsung ke Sabu Raijua tanpa singgah di Kupang yang kemudian diganti dengan kapal tol laut yang lebih kecil.
Waktu singgah di Kupang 14 hari membuat barang-barang tujuan Sabu Raijua harus menunggu dan kedaluwarsa, terutama telur dan yang lain. ”Kalau kapal tol laut langsung ke Sabu Bajua, kami punya garam dan rumput laut yang cukup. Kami jamin kapal berukuran besar itu tak pulang kosong dari Sabu Raijua,” kata Rihi Heke.
Lama di laut
Andi, Direktur PT Gemuk Rindu Kencana Kupang, yang memiliki usaha di bidang hasil laut, seperti ikan dan rumput laut, mengatakan, menggunakan kapal tol laut dari sisi ekonomi tak menguntungkan. Mengangkut barang dari Kupang ke Surabaya membutuhkan waktu perjalanan 29 hari. Padahal kontainer yang dipakai disewa secara harian.
Jadwal keberangkatan dan kedatangan kapal tol laut juga tidak jelas sehingga pengusaha sulit membuat jadwal. Sementara kapal milik swasta jelas jadwal kedatangan dan keberangkatannya, juga lamanya perjalanan laut.
Moch Anwar, pengusaha bahan pokok dari Alor, juga mengeluhkan waktu labuh kapal tol laut di Kupang, yaitu 7-14 hari. Pengusaha dari daerah, seperti Alor, Ende, Flores Timur, dan Lembata, yang menunggu barang tiba atau hendak mengirim barang ke Surabaya harus singgah lebih lama di Kupang.
”Situasi dan kondisi seperti itu sangat memengaruhi harga barang. Pengusaha tidak mungkin ingin rugi dalam jumlah besar. Masyarakat yang terkena dampaknya,” tuturnya.
Anwar mengaku, sejak sebulan terakhir, ia menggunakan kapal swasta di luar program tol laut. Kapal-kapal tol laut itu sebagian milik PT Pelni dan ada juga yang milik swasta.
Bupati Nagekeo Donbosco Do mengatakan, sistem transit di Kupang itu membuat barang- barang rusak, kedaluwarsa, dan biaya naik. Sementara bahan pokok dan barang kebutuhan setiap hari dibutuhkan atau dicari di kabupaten.
Nae Soi mengatakan, perlu dibentuk sistem transportasi nasional, termasuk di dalamnya pengendalian harga bahan pokok yang diangkut dengan kapal tol laut. Sejumlah masalah yang disampaikan kepala daerah dan pengusaha menjadi masukan.
Tanggapan menteri
Menanggapi keluhan itu, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, ia akan berkoordinasi dengan Menteri Perhubungan terkait program tol laut itu. ”Masukan ini sangat berarti untuk pengoperasian tol laut dan kepentingan masyarakat. Tol laut mestinya membawa dampak langsung, menekan harga bahan pokok,” katanya.
Dalam siaran persnya, Kementerian Perhubungan menyatakan bahwa peningkatan layanan program tol laut terus menjadi perhatian. Penyalahgunaan jasa subsidi dan pedagang nakal dalam tol laut sudah ditindak dan akan terus ditindak, termasuk merespons masukan pemerintah daerah.
”Dalam waktu dekat akan dikonsepkan pilot project seperti di Morotai dengan memberikan pelabelan pada komoditas sesuai Permendag Nomor 38, memerintahkan Pemda NTT, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perhubungan untuk merumuskan hal itu,” tutur Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub Capt Wisnu Handoko.
Secara nasional, wilayah pelayanan tol laut pada 2016 hanya singgah di 31 pelabuhan. Pada 2019 menjadi 76 pelabuhan dengan muatan lebih dari 239.875 ton. (KOR/GSA)