Isu rasisme kini kembali menjadi topik hangat media Amerika Serikat sejak awal Agustus ini. Hal itu terjadi setelah Profesor Timothy Naftali dari New York University, akhir Juli 2019, membuka rekaman percakapan Gubernur California Ronald Reagan dan Presiden AS Richard Nixon per 26 Oktober 1971.
Reagan, yang kelak jadi Presiden AS ke-40, terdengar meremehkan delegasi Afrika untuk PBB. Ia menyebut mereka “monyet”. Naftali, mantan Direkur Perpustakaan Presiden Nixon itu menulis di The Atlantic (30/7/2019) dengan judul “Ronald Reagan’s Long-Hidden Racist Conversation with Richard Nixon”.
Sehari setelah PBB memilih untuk mengakui Republik Rakyat China, Reagan menelepon Nixon di Gedung Putih. Ia melampiaskan rasa kecewanya kepada delegasi Afrika karena tak mendukung AS yang memilih Taiwan.
"Tadi malam saya memberitahu Anda untuk menonton televisi seperti saya," kata Reagan. "Ya," sela Nixon. "Untuk menonton mereka, monyet-monyet dari negara-negara Afrika itu!" kata Reagan. Keduanya lalu tertawa terbahak-bahak.
Sadar akan dampak bahaya rasisme, putri Reagan, Patti Davis, menyampaikan maaf lewat kolom opini Washington Post, 1 Agustus 2019. Sebutan "monyet" memang menghina. "Tetapi saya tidak siap atas rekaman ayah saya yang menggunakan kata ‘monyet’ untuk menggambarkan delegasi kulit hitam Afrika di PBB yang telah memilih dengan cara yang membuatnya marah,” kata Davis.
Audio percakapan Reagan-Nixon menjadi pengingat bahwa rasisme banyak dilakukan pejabat AS, termasuk presidennya. Kata-kata rasis pejabat mana pun lebih berdampak lebih buruk dibandingkan kata rasis dari mulut rakyat biasa. Namun, sama-sama tetap tak dapat dibenarkan.
Pernyataan rasis oleh pejabat AS memiliki sejarah panjang yang sering berulang. Bahkan sebelum Naftali mengungkapkan temuannya, Donald Trump pun membuat pernyataan rasis kepada warga Afrika-Amerika di Baltimore sehingga ia pun diprotes keras. Trump menyerang kaum Afrika-Amerika di Baltimore dan sekitarnya, basis Demokrat sejak 1953 dengan kata-kata "menjijikkan, penuh tikus, paling berbahaya" (The Guardian, 27/7/2019 dan 29/7/2019).
Menurut catatan sejarah, konflik sosial akibat rasisme telah ikut mengacaukan tatanan sosial masyarakat di banyak negara. Begitu juga cara aparat menangani konflik yang cenderung represif dapat memperburuk keadaan.
Terungkapnya rasisme Reagan merobek luka lama perlakuan buruk etnis kulit putih atas kulit hitam. Perang Saudara Amerika (1861-1865), yang ditandai dengan kebangkitan “negara bagian budak”, dipicu antara lain oleh rasisme. Kelahiran Ku Klux Klan (KKK), kelompok rasis ekstrem Amerika pada 24 Desember 1865, merupakan contoh buruk supremasi suatu ras atas ras yang lain. Sosiolog WEB Dubois dalam buku Blak Reconstruction in America (The Free Press, 1998) menyebutkan, 2.000 orang lebih tewas akibat kekerasan rasial KKK.
Rasisme menghancurkan tatanan sosial sebuah negara bangsa dan sangat berbahaya karena melahirkan intoleransi dan diskriminasi lebih luas. Etnis minoritas Bantu di Somalia sering dilecehkan karena penampilan fisik mereka berbeda dari mayoritas warga asli Kushitik. Apartheid di Afrika Selatan adalah contoh institusionalisasi rasisme paling berbahaya di muka bumi.
Artikel pertama Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia mengingatkan kita, “Semua manusia dilahirkan bebas dan setara dalam martabat dan hak". Rasisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.