Banjir Lewat Meninggalkan Muram Berkepanjangan
Banjir bandang di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, awal Juni lalu, menyisakan cerita muram nan panjang. Korban kehilangan harta dan ancaman beruntun seperti menunggu waktu. Kelestarian lingkungan kunci masa depan.
Ketut Simpen (40) berselonjor di bukit, di selatan sawahnya. Ia rehat sejenak setelah dua jam di sawah. Ia memandangi kuning kemerahan hamparan sawahnya, bukannya hijau.
Sawah Ketut digenangi lumpur setebal 20 sentimeter pascabanjir. Sawahnya persis di dekat Sungai Laundolia, sumber banjir. Sisa lumpur merekah membentuk kepingan mirip kue lapis. Helai padi tumbuh dari rekahan. Tanaman itu disemai dua minggu lalu.
”Hancur semua. Ini saya tanam lagi di atas hamparan lumpur yang pecah-pecah,” ujar perempuan lima anak itu, Senin (5/8/2019). Saat banjir melanda sawahnya, tanaman itu berumur 1,5 bulan. Bayangan panen empat bulan lagi sirna. Padahal, sawah seluas 1,5 hektar itu sandaran utama ekonomi keluarga. Suaminya pun bekerja serabutan.
Derita banjir juga dialami Manda (40), warga Desa Amorome, Kecamatan Asera. Saat ditemui, ia sedang mencongkel bata merah yang rekat karena lumpur. Semua bata sisa itu dilumuri lumpur. Bata merah itu tak lagi laku dijual. ”Pernah ada pembeli datang, tetapi ia tak mau beli karena penuh lumpur. Saya mau hancurkan untuk jadi bahan baku bata baru,” ujar Manda. Sudah satu dekade ia mencetak bata merah di tepi Lasolo.
Sebelum banjir, bapak lima anak itu punya stok 130 meter kubik bata merah, 90 kubik di antaranya siap jual. Semua hancur, tersisa tak lebih dari 2 meter kubik setelah disapu air Sungai Lasolo yang berjarak 40 meter dari bengkelnya. Dengan harga Rp 450.000 per kubik, Manda kehilangan Rp 60 juta.
Manda bersama keluarganya saat ini mengungsi di rumah kerabat. Selain usaha bata merah hancur, sebagian besar rumah Manda juga roboh diterjang banjir. Di Amorome ada lima rumah roboh.
Berjarak 40 kilometer dari Desa Amorome, kehancuran karena banjir juga mendera Desa Tapuwatu, Kecamatan Asera. Desa titik temu Sungai Lalindu dan Sungai Lasolo itu kini tinggal puing. Sebanyak 85 rumah warga hancur.
Di Desa Tampakua, Amorome, dan Tapuwatu, hanya sebagian lokasi terdampak banjir awal Juni lalu di Konawe Utara. Banjir dari luapan gabungan Lalindu dan Lasolo itu menghantam 50 desa dan kelurahan di tujuh kecamatan. Ketinggian air 1-3 meter. Sedikitnya 370 rumah hanyut dan puluhan ribu warga mengungsi. Kerugian akibat banjir sektor perumahan ditaksir Rp 66 miliar, di sektor pertanian Rp 43 miliar.
Banjir terparah
Bencana awal Juni itu menjadi banjir terparah. Sejumlah lokasi, seperti Tambakua, Laronanga, dan Tampuwatu beberapa kali didera banjir. Tahun 2017 dan 2018, banjir melanda rumah tak lebih dari 50 meter dari sungai, sedangkan tahun ini hingga 500 meter dari sungai.
Banjir tak lepas dari perubahan tutupan hutan di hulu atau sistem Daerah Aliran Sungai Lasolo. Sebagian wilayah hulu saat ini menjadi kawasan pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Di pegunungan Desa Tambakua, yang merupakan hulu Sungai Laundolia, dua perusahaan beroperasi.
Sungai-sungai kecil mengalir dari areal tambang dengan alur yang jelas. Longsoran dari tumpukan material tambang meluncur melewati pepohonan ke alur sungai. Luas bukaan sekitar 60 hektar. Eksploitasi masif dilakukan pada 2017 saat perusahaan menambang lagi setelah sempat dihentikan karena larangan ekspor ore (material kasar mengandung nikel).
Di sisi timur-selatan gunung yang masih dikelilingi hutan lebat, yang merupakan hulu Sungai Langgikima, dua perusahaan mengeruk gunung demi nikel.
Selain pertambangan, wilayah hulu beralih jadi hamparan kebun sawit. Lembah dan lereng di Kecamatan Langgikima dan Oheo serta Landawi, yang sebelumnya hutan produksi, sejak 2007 diganti sawit. Tiga kecamatan itu ada di hulu Sungai Langgikima dan Landawe, yang bersama Laundolia menyatu menjadi Lalindu. Sungai Lalindu bertemu Lasolo di Kecamatan Asera menjadi Sungai Lasolo dan bermuara di Kecamatan Molawe.
Tokoh adat Konawe Utara, Edy Lapalulu (56), menilai, banjir terkait beroperasinya tambang dan kebun sawit di daerah hulu. Ia mendesak pemda serius bekerja berdasarkan bencana yang terjadi. Salah satunya evaluasi ulang lokasi pertambangan. Jika memang mendatangkan bencana (banjir), izin harus dikaji ulang.
Kepala Bidang Penataan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Sultra Aminoto Kamaludin menyatakan, secara komprehensif pihaknya belum mengkaji kontribusi pertambangan dan perkebunan sawit terhadap banjir lalu.
Namun, melihat kondisi hulu sungai-sungai yang meluap dengan adanya tambang dan kebun sawit, hal itu kemungkinan berhubungan. Aminoto mengakui, pengawasan di Sultra belum efektif. Selama ini, bidangnya tidak pernah mendapat anggaran pengawasan.
(SAIFUL RIJAL YUNUS/ VIDELIS JEMALI)