Aksi unjuk rasa pro-demokrasi di Hong Kong yang telah berlangsung selama 12 minggu terakhir kembali ricuh. Dewan Legislatif Hong Kong kini terbagi menjadi dua dalam memutuskan siapa pihak yang bertanggung jawab atas kekerasan dalam sejumlah aksi unjuk rasa tersebut.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
HONG KONG, SENIN — Aksi unjuk rasa pro-demokrasi di Hong Kong yang telah berlangsung selama 12 minggu terakhir kembali ricuh. Dewan Legislatif Hong Kong kini terbagi menjadi dua dalam memutuskan siapa pihak yang bertanggung jawab atas kekerasan dalam sejumlah aksi unjuk rasa tersebut.
Anggota parlemen pendukung pemerintah mengecam aksi unjuk rasa yang memblokade jalan, melempar bom molotov, dan menyerang anggota kepolisian pada Sabtu dan Minggu, 24-25 Agustus 2019.
”Anda bisa menyampaikan banyak pandangan berbeda kepada pemerintah. Namun, kekerasan itu berbeda. Jika kita menerima kekerasan, kota kita akan hancur,” ujar Ketua Aliansi Demokratik untuk Perbaikan dan Kemajuan Hong Kong Starry Lee, Senin (26/8/2019).
Anggota parlemen pendukung demokrasi membalas, seharusnya pemerintah dan kepolisian yang bertanggung jawab. Pemerintah merupakan inisiator Rancangan Undang-Undang Ekstradisi yang memicu aksi protes. Sementara kepolisian menindak tegas pengunjuk rasa yang dituduh sebagai lawan pemerintah.
”Carrie Lam (Kepala Eksekutif Hong Kong) yang seharusnya menanggung semua tanggung jawab. Sekarang dia mencoba untuk meloloskan diri dari seluruh tanggung jawab dan mengganti fokus publik ke platform dialog (antara pemerintah dan pengunjuk rasa),” kata anggota Partai Sipil, Kwok Ka-ki.
Kwok menuding, platform dialog tersebut bukan bertujuan untuk menyelesaikan krisis politik yang terjadi. Namun, platform tersebut merupakan salah satu taktik pemerintah untuk mengulur waktu dalam memenuhi tuntutan pengunjuk rasa.
Setelah berlangsung damai, aksi unjuk rasa kembali ricuh pada Sabtu dan Minggu, 24-25 Agustus. Pada hari kedua, mereka berkumpul di Taman Tsuen Wan, Distrik Tsuen Wan.
Para pengunjuk rasa yang beraliran keras ikut berkumpul. Mereka menduduki jalan utama, menancapkan batang bambu di trotoar, dan membariskan penghalang lalu lintas untuk menghalangi polisi. Menurut mereka, aksi protes damai tidak cukup untuk mendapatkan respons pemerintah.
Setelah kericuhan terjadi, polisi akhirnya mengerahkan meriam air dan menembakkan gas air mata, melawan lemparan batu, dan bom molotov dari pengunjuk rasa. Enam polisi bahkan mengeluarkan pistol dan salah satunya mengeluarkan tembakan peringatan ke udara.
Aksi protes ricuh mulai dari Distrik Tsuen Wan dan kemudian menjalar ke Distrik Tsim Sha Tsui. Pemerintah Hong Kong menyatakan, aksi ilegal dan kekerasan dari pengunjuk rasa mendorong Hong Kong memasuki situasi yang sangat berbahaya.
”Eskalasi situasi yang kalian lihat saat ini adalah hasil dari ketidakacuhan pemerintah terhadap warga Hong Kong,” kata Rory Wong, salah satu warga yang berada di lokasi kerusuhan.
Penahanan
Kepolisian Hong Kong menahan 36 orang, terdiri dari 29 laki-laki dan 7 perempuan, atas kerusuhan yang terjadi selama dua hari tersebut. Salah satu orang yang ditahan merupakan anak berusia 12 tahun.
Mereka ditahan atas berbagai tuduhan, antara lain berkumpul tanpa izin, memiliki alat seperti senjata, dan menyerang anggota kepolisian.
”Para pengunjuk rasa tidak melakukan apa pun. Mereka hanya memblokir jalan untuk melindungi diri mereka,” kata Dong Wong, salah seorang warga.
Sebelumnya, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet melalui pernyataan tertulis telah mengimbau agar Otoritas Hong Kong menahan diri dan menyelidiki kasus kekerasan yang terjadi selama aksi unjuk rasa.
Hong Kong merupakan wilayah China yang memiliki pemerintahan khusus sejak 1997. Aksi unjuk rasa di Hong Kong berawal dari penolakan pada awal Juni 2019 terhadap RUU Ekstradisi, yang membuat warga dapat dikirim ke China. Aksi kemudian berkembang menjadi gerakan pro-demokrasi.
Para pengunjuk rasa kini menuntut Pemerintah Hong Kong mencabut RUU Ekstradisi, pembatalan sebutan perusuh terhadap pengunjuk rasa, serta pembebasan pengunjuk rasa yang ditahan polisi.
Selain itu, mereka juga mendesak Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengundurkan diri, menuntut penyelidikan kekerasan oleh polisi, dan pemberian hak pilih terhadap pejabat legislatif dan pemimpin Hong Kong. (AP/REUTES/BBC)