Peran perempuan dalam sejarah perjuangan dan perjalanan bangsa Indonesia sering terlupakan. Bahkan, saat ini tidak banyak yang tahu bahwa feminisme justru ada di tatanan lama Nusantara.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peran perempuan dalam sejarah perjuangan dan perjalanan bangsa Indonesia sering terlupakan. Bahkan, saat ini tidak banyak yang tahu bahwa feminisme justru ada di tatanan lama Nusantara.
Untuk itulah Cemara 6 Galeri-Museum Jakarta bersama Southeast Asia Junction (SEA Junction) menggelar Pameran Tunggal Seruni Bodjawati dan Peluncuran Buku Esthi Susanti Hudiono dengan tema ”Perempuan-Perempuan Menggugat”.
Pameran yang berlangsung sejak 21 Agustus hingga 31 Agustus 2019 di Cemara 6 Galeri-Museum, Jalan HOS Cokroaminoto Nomor 9-11 Jakarta Pusat ini menampilkan 26 lukisan perempuan yang berisi 29 perempuan tokoh sejarah yang hidup di antara tahun 833 dan 2019.
Sosok perempuan-perempuan tersebut dilukis oleh perempuan pelukis Seruni Bodjawati (28) dengan mengusung semangat ”Menghidupkan yang Terlupakan”. Ke-29 perempuan tersebut, antara lain Rainha Boki Raja, Laksamana Malahayati, Dewa Agung Istri Kanya, Ny Ageng Serang, Martha Christina Tiahahu, Dewi Sartika, RA Kartini, Inggit Garnasih, RA Soekonto, Nyi Hadjat Dewantara, Soejatin, Rohana Kudus, Maria Walanda Maramis, Rasuna Said, Sulami dan Umi Sardjono, Ibu Soed, NH Dini, Yanti Muchtar, Zumrotin K Susilo, Saparinah Saldi, Mama Aleta Baun, Mura Sidharta, Yosepha Alomang, dan Toety Heraty.
”Pameran ini dipersembahkan dengan niat menghidupkan kembali spirit perjuangan perempuan-perempuan yang terlupakan atau nyaris terlupakan,” ujar Esthi Susanti Hudiono, Minggu (25/8/2019), saat bedah bukunya berjudul Perempuan-Perempuan Menggugat; Literasi Rupa Sejarah Perempuan Indonesia.
Diskusi buku tersebut menampilkan narasumber Peter Carey (sejarawan), Felencia Hutabarat (aktivis perempuan muda), dan Rosalia Sciortino Sumaryono (antropolog). Sehari sebelumnya, digelar diskusi interaktif dengan tema ”Perjuangan Perempuan dalam Berbagai Dimensi” dengan narasumber Myra Sidharta (penulis tentang Tionghoa), Zumrotin K Susilo (Yayasan Kesehatan Perempuan), dan Missiyah (Direktur Institut Kapal Perempuan).
Adapun lukisan yang dipamerkan dikategorikan ke dalam sembilan zaman, yakni prakolonial, VOC, Hindia Belanda, Jepang, masa perang kemerdekaan, liberal, Demokrasi Terpimpin/Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi.
Menurut Esthi, semangat perjuangan perempuan pada dasarnya bicara kekuatan dari dalam melawan penindasan dan ketidakadilan. Hal itu tergambar dari lukisan-lukisan karya Seruni yang dipamerkan. Dia mencontohkan lukisan utama Ratu Ternate, Raiha Boki Raja, yang tak pernah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Padahal, Rainha adalah perempuan hebat yang memenangi pertempuran dengan Portugal.
Bagi Seruni, melukis perempuan-perempuan yang menjadi tokoh sejarah dari ratusan tahun lalu tidaklah mudah, membutuhkan energi khusus. ”Butuh waktu sekitar satu tahun enam bulan untuk menyelesaikan lukisan-lukisan tersebut,” papar Seruni.
Peter Carey memberikan apresiasi atas karya lukisan Seruni dan tulisan Esthi. Bagi Peter, jejak matriarki sangat jelas tergambar dalam penelusuran kisah tokoh yang dilukis Seruni dan ditulis Esthi.
Pameran yang dibuka Yenny Zannuba Wahid (aktivis perdamaian) dan Kamala Chandrakirana (aktivis, intelektual sosial dan hak asasi perempuan) juga akan diisi dengan berbagai kegiatan lain, seperti pemutaran film dan sejumlah diskusi tokoh perempuan dan film, serta diskusi tentang ”Narasi Inggit Garnasih, Perempuan Tak Sudi Dimadu” yang akan digelar pada 30 Agustus mendatang.