Menambal Retak Rumah Subsidi
Pengalaman pertama memberi pelajaran berharga, termasuk saat membeli rumah bersubsidi. Sebelum membeli, pastikan rumah dalam kondisi baik agar kantong tak terkuras di kemudian hari karena memperbaiki kerusakan.
Yogi (29), pemilik rumah subsidi di Kecamatan Klari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, nyaris tekor karena sudah menghabiskan Rp 80 juta sejak 2017. Dana sebesar itu sudah nyaris 60 persen dari harga rumahnya, Rp 140 juta, yang dibeli pada 2017.
Jumlah itu belum termasuk biaya membuat sumur Rp 3,5 juta dan septic tank Rp 1,5 juta. Sejak menghuni rumah itu, Yogi mesti menyiapkan kesabaran ekstra dan merogoh kocek dalam-dalam untuk menambal tembok ruang tamu dan kamar tidur yang retak-retak. Ia juga meminjam uang ke kerabatnya untuk meninggikan teras rumahnya agar aman dari banjir.
“Saya tidak menyangka keadaan rumahnya seperti ini. Pada saat penawaran contoh rumah, terlihat baik-baik saja,” ujarnya sambil tersenyum kecut, pekan lalu.
Atap rumah yang bocor serta kusen-kusen pintu mengelupas dan memuai sehingga pintu sulit ditutup adalah masalah lanjutan yang dihadapi Yogi. Retakan yang ditambal di satu sudut, muncul di sudut lain.
Bagi sebagian pemilik, membeli rumah subsidi dianggap membeli tanah. Sebab, kualitas bangunan di bawah harapan.
Ika Padmasari(40), warga perumahan subsidi di Kecamatan Pallaga, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, harus membenahi banyak hal sebelum menempati rumah yang dibelinya tahun lalu.
“Tidak ada air bersih. Ada listrik akan tetapi colokan dan tempat bola lampu tidak dialiri listrik. Saya harus membenahi kabel-kabel dan jaringan listrik," keluhnya.
Masalah lain, atap bocor di beberapa titik, pintu retak, dan celah antarubin tidak diberi semen. "Semut dan cacing sering muncul dari sela-sela ubin," kata Ika.
Pengguna kendaraan mesti siap-siap berjibaku dengan jalan tanah dan berbatu untuk mencapai rumah Ika. Akses dari jalan raya menuju perumahan yang berjarak 15 kilometer dari Makassar ini bergelombang. Penerangan jalan dipasang atas inisiatif warga. Saluran air seadanya. Pada Februari lalu, perumahan ini terendam banjir.
“Di brosur disebutkan fasilitas rumah lengkap. Kenyataannya, jaringan air tidak terpasang. Saya mengeluarkan Rp 2 juta untuk biaya membuat sumur bor. Setelah kami desak, pengembang hanya memberi kompensasi Rp 1,5 juta per rumah untuk pengganti biaya pasang sumur bor,” kata Ika.
Harga rumah di kawasan itu Rp 195 juta per unit. Namun, menurut Riswan, yang tinggal di perumahan yang sama dengan Ika, harga sesungguhnya melampaui itu karena pemilik rumah mesti mengeluarkan uang cukup banyak untuk membenahi kerusakan.
Di Sumatera Utara, Dedi Rizky Ginting (32) terbantu program pembangunan rumah bersubsidi. Dengan uang muka Rp 15 juta, ia bisa memiliki satu unit rumah di Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang.
“Cicilannya ringan, yakni Rp 930.000 per bulan,” ujarnya.
Rumah berukuran 36 meter persegi itu memiliki dua kamar tidur, ruang tamu, dan kamar mandi. Listrik dan air bersih juga tersedia.
Akan tetapi, Dedi berhadapan dengan masalah kualitas bangunan. Ia mesti menguras isi dompet Rp 20 juta untuk membuat dapur. Kualitas tembok rumah buruk. Beberapa bagian rumah yang ditempati sejak 2016 itu sudah retak-retak, sehingga harus ditambal.
Sementara, Ida Setya (38) yang tinggal di perumahan subsidi di Kelurahan Batu Ampar, Kecamatan Balikpapan Utara, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, mesti berhati-hati setiap kali memaku dinding rumahnya. Kerap kali, saat dipaku, pelapis dinding rumahnya rontok.
Kendati atap rumahnya dalam kondisi baik dan tidak ada yang bocor, namun beberapa bagian tembok rumah Ida retak. Retak-retak ini muncul setahun sejak rumah dihuni sekitar 2016.
Nurul, warga rumah subsidi di Balikpapan Utara, mengaku beberapa kali dalam sehari harus menyapu rumah dan teras rumahnya yang berdebu. Jalan di dekat perumahan itu belum diaspal, sedangkan jalan menuju perumahan berupa tanah merah dan kerikil. Akibatnya, saat kendaraan melintas, tanah halus dan debu beterbangan.
“Meskipun tidak ada kendaraan yang lewat, tetap saja debunya terbawa ketika ada angin. Kalau hujan jadi becek meski tidak banjir,” tuturnya.
Dilaporkan
Perihal kondisi sejumlah rumah subsidi yang jauh dari standar kelayakan, Kepala Seksi Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Perumahan Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (PRKP) Fina Wulansari Yuniar mengakui, masyarakat sudah melaporkan hal itu.
“Pengawasan bagi pengembang yang tidak mematuhi penerapan standar layak huni masih lemah. Saat ini peraturan daerah tengah digodok untuk menindak tegas para pengembang yang tidak patuh,” katanya.
Sekretaris DPD Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Jawa Barat Abun Yamin Syam menyebutkan, kualitas rumah subsidi disesuaikan dengan standar. Komplain dapat diajukan penghuni rumah, maksimal 100 hari setelah pembelian rumah.
Berdasarkan data Dinas PRKP Kabupaten Karawang, saat ini ada 12.166 unit rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Pada 2015, dibangun 42 perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah, sedangkan pada 2016 sebanyak 45 perumahan.
Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Ida Mariana menyampaikan, sejak 2015, sebanyak 12.000-15.000 unit rumah bersubsidi dibangun di Sumut setiap tahun. Rumah subsidi banyak dibangun di Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang.
Menurut Ida, pembangunan rumah subsidi di kota-kota berhadapan dengan persoalan keterbatasan lahan dan perizinan. Minat masyarakat membeli rumah bersubsidi rendah karena kualitas rumah yang rendah, akses transportasi yang terbatas, dan lokasi perumahan yang jauh.
Namun, tambah Ida, kendala-kendala itu diatasi. Pemerintah telah menetapkan standar kualitas rumah bersubsidi yang harus dipenuhi pengembang. Setiap rumah juga harus mempunyai sertifikat laik huni sebelum dijual ke masyarakat dengan pengawasan dari pemerintah daerah.
Rumah murah mestinya tidak mengorbankan kualitas. Faktanya, masih ada pembeli rumah subsidi yang mesti mengeluarkan uang untuk memperbaiki rumahnya agar layak huni. (MEL/REN/NSA/CIP)