DPR baru hasil Pemilu 2019 akan dilantik pada 1 Oktober mendatang. Namun, persoalan lama masih membayang-bayangi wajah wakil rakyat tersebut. Mampukah mereka melepaskan diri dari jeratan stigma masa lalu?
Sebanyak 575 anggota DPR hasil Pemilu 2019 akan dilantik sebagai wakil rakyat pada Oktober mendatang. Postur keanggotaan DPR hasil pemilu yang penuh dinamika ternyata relatif tak berubah dari periode sebelumnya. Oleh karena itu, perbaikan kinerja sangat diharapkan di tengah menipisnya apresiasi publik terhadap DPR.
Keistimewaan anggota DPR baru periode 2019-2024, yang akan dilantik pada 1 Oktober mendatang, mereka sukses meraih kemenangan dalam pemilu yang ingar-bingar dengan konflik suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) serta ideologi. Kontestasi politik yang tergolong paling sengit dalam sejarah demokrasi modern Indonesia ini nyaris menyeret pada jurang perpecahan dan konflik.
Kehadiran para wakil rakyat ini juga menandai keuletan mereka mengelola sumber daya untuk meraih kemenangan dalam pemilihan serentak. Pemilu 2019 yang berlangsung dengan pemilihan presiden membuat konsentrasi calon anggota legislatif (caleg) berkampanye terbelah antara mengampanyekan diri mereka sendiri, partai politik, dan calon presiden-calon wakil presiden yang diusung parpol para caleg.
Prakondisi itu menjadi catatan apresiasi bagi semangat dan kegigihan caleg mengatasi gejolak konflik sosial dan persaingan yang ketat untuk memenangi kursi anggota DPR. Hanya para caleg yang memiliki modal politik, sosial, dan pengalaman bermanuver politik bisa lolos konflik sosial dan persaingan antarcaleg.
Terbukti, dari hasil penelusuran Litbang Kompas terhadap data para caleg yang diprediksi mendapatkan kursi DPR, sebagian besar memiliki latar belakang anggota DPR (petahana). Dari caleg petahana ini, sebagian adalah pimpinan dan pengurus partai politik, serta tokoh masyarakat dan profesional. Artinya, caleg yang benar-benar wajah baru—bukan kerabat petahana atau elite politik, bukan pula pesohor—tampaknya jumlahnya hanya segelintir.
Dari data yang sama juga terungkap relatif kecil pergeseran komposisi usia generasi senior ke muda. Mayoritas anggota DPR saat ini adalah Generasi X dalam rentang usia produktif 39-54 tahun. Jumlah anggota DPR dari Generasi X ini mencapai 259 orang.
Generasi yang lebih tua (baby boomers) menempati peringkat kedua dengan jumlah 183 anggota. Sementara generasi paling tua (silent generation) tercatat dua orang. Anggota DPR dengan usia 38 tahun ke bawah hanya 49 orang. Generasi yang lebih muda di bawahnya, yaitu Generasi Z, bahkan hanya 3 orang yang mampu lolos ke DPR.
Ruang kontestasi
Di mata publik, keberadaan generasi dalam rentang usia senior (50-70 tahun) yang terlalu banyak di DPR dinilai kurang ideal. Mayoritas (62,3 persen) responden menyatakan, jumlah generasi senior terlalu banyak tidak sesuai dengan harapan mereka.
Fakta anggota DPR didominasi generasi mapan setidaknya berdampak pada regenerasi politik yang lamban. Esensi regenerasi yang mandek ini bukan sekadar pergantian usia dari yang tua ke yang muda, melainkan menyangkut hal urgen, yaitu visi, kesetaraan, dan kesejahteraan.
Kondisi ini mencerminkan ruang pertarungan politik parlemen di tingkat nasional sesungguhnya arena yang dikuasai kekuatan lama. Namun, di sisi lain, hasil pemilu itu juga mencerminkan corak pilihan masyarakat saat mencoblos di pemilihan legislatif yang masih dipengaruhi selera ”konvensional”, yaitu memilih caleg-caleg yang dikenal atau direkomendasikan di nomor urut atas oleh partai politik.
Responden cenderung apatis mengapresiasi kemampuan anggota DPR untuk membuat perubahan lebih baik selama lima tahun mendatang. Separuh bagian responden memperkirakan prestasi dan karakter DPR baru nanti sama dengan yang sudah-sudah. Hanya 30 persen responden yang optimistis semakin baik, sementara 10 persen responden justru memperkirakan akan semakin buruk.
Responden yang optimistis terhadap DPR baru menilai dari segi faktor pengalaman dan hasil kerja selama ini sebagai alasan.
Sebaliknya, responden yang pesimistis, lebih melihat faktor kinerja yang buruk, usia yang semakin tua, dan perilaku kontroversial membuat kinerja DPR semakin buruk. Peran aktif politisi muda dan berintegritas masih dipercaya bisa mengimbangi politisi senior yang dianggap ”merusak tatanan” DPR dengan agenda dan kepentingan mereka. Meski demikian, soal integritas memang tidak semata soal usia, tetapi juga rekam jejak caleg serta visi misi dan program partai yang mengusungnya. Akhirnya, soal integritas, kejujuran dan kecakapan berpolitik bergantung pada pribadi caleg.
Persoalan lama
Hasil jajak pendapat Kompas juga mengungkap penilaian responden terhadap kinerja anggota Dewan yang akan pensiun. Penilaian responden ternyata konsisten melihat kiprah anggota selama lima tahun terakhir. Mayoritas menyatakan, anggota Dewan saat ini dinilai tidak bisa menyelesaikan target pekerjaan lima tahun.
Pendapat responden ini mengacu tugas DPR membuat undang-undang bersama pemerintah. Merunut hasil jajak pendapat, sebanyak 55,5 persen responden menyatakan anggota DPR yang akan mengakhiri jabatan mereka masih meninggalkan banyak pekerjaan rumah. Respons yang sama juga terungkap dalam fungsi kontrol terhadap pemerintah dan pembuatan anggaran negara.
Sinisme publik terhadap kinerja DPR menjadi persoalan lama setiap jajak pendapat. Sebagian besar jajak pendapat selalu menangkap atensi publik yang cenderung negatif terhadap DPR. Dalam jajak pendapat ini responden memberikan penekanan berbeda terkait aspek positif dan negatif yang mereka ingat dari kiprah anggota DPR.
Empat dari 10 responden (43 persen) langsung menjawab ”tidak ada” ketika ditanya prestasi terbesar anggota DPR yang bisa diingat selama ini. Hanya 8 persen responden yang mengingat prestasi DPR mendorong pembangunan dan 4 persen membuat undang-undang.
Sebaliknya, untuk hal-hal kontroversial, responden punya koleksi ingatan cukup kuat tentang DPR. Sebanyak 44,7 persen responden langsung menjawab ”korupsi” sebagai perilaku negatif. Perilaku lain yang cukup signifikan tertanam dalam memori responden adalah tidak seriusnya anggota Dewan ketika sidang, titip absen, bolos sidang, arogan, temperamen, dan suka jalan-jalan ke luar negeri berdalih studi banding.
Perilaku-perilaku mengecewakan publik tersebut berdampak pada pencitraan DPR. Dalam jajak pendapat pada pengujung masa kerja DPR ini, hampir 50 persen publik memberi cap buruk untuk citra DPR.
Sebaliknya, responden yang mulai memberi apresiasi positif kepada citra DPR sebesar 41,8 persen. Meski demikian, harapan perubahan yang lebih baik di DPR tetap tinggi. Sepertiga bagian responden (35,12 persen) akan menyampaikan kepada anggota Dewan agar memperbaiki kinerja jika para anggota DPR tersebut dilantik saat ini.
Sementara 29,3 persen responden berharap anggota Dewan benar-benar serius berjuang untuk rakyat. Selain mengharapkan perbaikan kinerja, responden juga ingin menyampaikan harapan agar DPR mendatang dapat lebih jujur dan amanah, bisa menjauhi korupsi, serta mau mereformasi lembaganya untuk kepentingan rakyat yang diwakilinya. (Sultani/Litbang Kompas)