Tantangan Pengelolaan Ruang Publik Ramah Anak
Ruang publik terpadu ramah anak menjadi tempat berkumpul harapan warga Ibu Kota. Ruang bersama ini tak sekadar tempat bermain bagi anak-anak, tetapi juga tempat berkumpul dan beraktivitas warga.
Ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA) tak sekadar menjadi ruang publik yang nyaman, aman, dan gratis. Ia juga bisa menjadi ruang terbuka hijau skala kecil di Jakarta. RPTRA bukan hanya taman terbuka bagi anak yang dibangun dalam rangka Program Kota Layak Anak yang diluncurkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan pada 2009. Program taman tersebut juga telah menjadi ruang publik baru bagi seluruh lapisan masyarakat dari anak hingga warga lansia.
Sarana-prasarana di taman terbuka tersebut dibangun agar anak dapat hidup, tumbuh, dan berkembang dengan aman dan nyaman. Selain itu, taman juga menjadi sarana untuk meningkatkan kegiatan sosial warga, termasuk pengembangan pengetahuan dan keterampilan kader PKK.
Pembangunan RPTRA tahap pertama dimulai Oktober 2015, dibiayai oleh dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dari perusahaan-perusahaan swasta. Taman percontohan ramah anak tersebut dibangun di enam wilayah DKI Jakarta. Pada Maret 2017, jumlah RPTRA menjadi 184 unit yang tersebar antara lain 24 unit di Jakarta Pusat, 42 unit di Jakarta Utara, 36 unit di Jakarta Barat, 37 unit di Jakarta Selatan, 38 unit di Jakarta Timur, serta 2 unit di Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu.
Hingga 2018, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah membangun 290 RPTRA yang berada di tiap kelurahan. Jumlah tersebut melampaui target yang ditentukan sebanyak 267 (jumlah kelurahan). Tahun 2019 Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta hendak membangun 16 RPTRA, menggunakan APBD sebesar Rp 40 miliar. RPTRA ini tersebar di Jakarta Pusat (4 taman), Jakarta Utara (5), Jakarta Barat (2), dan sisanya di Jakarta Selatan, Jakarta Timur, dan Kepulauan Seribu.
Ruang publik baru
Sebelum RPTRA dibangun, tempat interaksi masyarakat di perkampungan padat hanya terjadi jika salah satu warga mengadakan hajatan. Beruntung jika komunitas kampung tersebut memiliki taman yang juga bisa digunakan untuk tempat berkumpul dan rekreasi. Jika tidak, warga terpaksa menggunakan jalan sebagai tempat berinteraksi.
Akibatnya, anak-anak di perkampungan padat menggunakan jalan sebagai tempat bermain, mulai dari sepak bola, bermain layang-layang, atau sekadar berlari-larian. Keterbatasan ruang interaksi ini tak jarang menimbulkan gesekan.
Bahkan, di kawasan Johar Baru, Jakarta Pusat, dan Manggarai, Jakarta Selatan, sering terjadi tawuran antarwarga. Menurut penelitian ”Problema dan Resolusi Konflik Sosial di Kecamatan Johar Baru-Jakarta Pusat” (Sumarno, 2014), tawuran di kawasan padat disebabkan salah satunya oleh kurangnya tempat bersama untuk berkumpul dan berinteraksi.
Sejak kehadiran program RPTRA empat tahun lalu, anak-anak dapat bermain bebas di taman yang rata-rata mempunyai luas 600 hingga 5.000 meter persegi itu. Anak-anak dari bayi/balita hingga usia sekolah bisa beraktivitas di lapangan olahraga (futsal, basket, voli), arena bermain, bahkan dapat mengikuti kursus keterampilan gratis seperti mewarnai, menggambar, menari, dan bahasa Inggris di ruang pertemuan yang menjadi sarana standar RPTRA.
Keberadaan taman bersama ini membuat kegiatan bermain anak menjadi lebih terawasi. Sebelumnya, anak-anak cenderung bermain di jalan atau bermain gim daring di warnet. Sekarang, anak-anak balita sampai remaja bebas memanfaatkan RPTRA untuk bermain dan membaca di perpustakaan. Orangtua tidak lagi waswas jika anaknya tidak berada di rumah. Orangtua merasa aman anaknya bermain di RPTRA karena lebih terawasi dan terarah.
Beberapa RPTRA juga digunakan sebagai tempat resepsi pernikahan bagi warga sekitar. RPTRA Bahari, Cilandak, Jakarta Selatan, dan RPTRA Gedong Trikora, Jakarta Timur, misalnya, dipakai untuk menjadi tempat pesta pernikahan. Demikianlah, RPTRA menjadi ”oase” tempat berkumpul warga Jakarta dari berbagai golongan umur dan kelas sosial. Ruang publik tersebut mewakili salah satu ruang publik menurut Undang-Undang Penataan Ruang.
Dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tersebut, ruang publik bisa berwujud ruang terbuka hijau atau bisa seperti waduk/danau, sungai, trotoar, tempat bermain, dan lapangan olahraga. Syarat penting dari ruang publik adalah bebas biaya, dapat digunakan semua warga, dan mudah diakses warga dari segala lapisan.
Perencanaan dari bawah
Pembangunan RPTRA menjadi salah satu contoh perencanaan fasilitas publik yang melibatkan aspirasi warga. Sebelum dilakukan pembangunan, ada proses diskusi kelompok terfokus (FGD) dengan warga sekitar.
FGD tersebut melibatkan akademisi yang sekaligus melakukan pemetaan sosial. Selama proses, disampaikan terlebih dahulu bahwa di wilayah ini akan didirikan RPTRA yang dilengkapi berbagai fasilitas untuk anak dan warga.
Desain RPTRA pun disampaikan dalam FGD. Warga yang tidak setuju bisa menyampaikan aspirasi. Desain bisa diubah sesuai kesepakatan warga. Dalam penelitian ”Implementasi RPTRA di Kelurahan Sungai Bambu Jakarta Utara” (Indriany, 2017) disebutkan proses FGD dilakukan sampai tiga kali. Peserta FGD terdiri atas lima kelompok, yang meliputi anak, remaja, ibu dan bapak, serta kelompok lansia.
Sebagian besar RPTRA dikelola enam orang. Mereka adalah pekerja harian lepas yang digaji sesuai upah minimum regional (Rp 4 juta per bulan). Tugas mereka dibagi dalam dua giliran kerja pukul 05.00-22.00. Namun, ada pula yang giliran kerjanya terbagi dalam tiga jadwal seperti di RPTRA Gedong Trikora. Enam pengelola tersebut bertanggung jawab kepada lurah. Pengaturan jadwal kerja dan kegiatan dalam RPTRA wajib dilaporkan kepada lurah.
Sebelum menjadi pengelola RPTRA, mereka mengikuti proses seleksi ketat. Pengelola nantinya mendapat berbagai pelatihan terkait psikologis anak, kepemimpinan, keterampilan, dan kemampuan memecahkan masalah. Setelah itu, mereka ditempatkan sesuai dengan lokasi kediaman atau yang berdekatan.
Perkembangan RPTRA ke depan menjadi tantangan tersendiri bagi para pengelolanya. Jika ke depan perekrutan pengurus RPTRA tak dilakukan dengan proses yang baik, bisa jadi yang terekrut adalah pengurus yang sekadar ingin menjadi pekerja harian lepas dan mendapatkan gaji bulanan tanpa memiliki kemampuan seperti yang diharapkan Pemprov DKI. Keberlangsungan program RPTRA bergantung pada para pengurus yang andal.
Selain pengurus, pemeliharaan RPTRA juga menjadi tantangan bagi keberlanjutan RPTRA ke depan. Pemeliharaan kebersihan dan sarana penunjang RPTRA selama ini masih bergantung pada dana operasional pemda yang dilaksanakan pengurus serta petugas penanganan prasarana dan sarana umum (PPSU). Selain melalui dana APBD, sejumlah RPTRA dibangun dan dipelihara melalui dana CSR.
Aspek ekologis
Pembangunan taman publik tidak sekadar memenuhi kebutuhan ruang publik perkotaan. Dalam Peraturan Gubernur No 196/2016 mengenai Pedoman Pengelolaan RPTRA, RPTRA juga diharapkan berfungsi ekologis. Selain meningkatkan pencapaian ruang terbuka hijau, RPTRA juga berfungsi memperluas tempat penyerapan air tanah.
Aspek ekologis ini diperjelas dalam Kriteria Taman Ramah Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dalam kebijakan itu disebutkan, minimal tiga perempat area terdiri atas rumput/tanah. Diharapkan area rumput/tanah meningkatkan persentase ruang terbuka hijau perkotaan hingga 30 persen.
Namun, mewujudkan fungsi ekologis tersebut cukup sulit. Tidak semua RPTRA mempunyai lahan luas sehingga tidak mudah mengalokasikan 30 persennya untuk areal terbuka. Lazimnya, suatu RPTRA harus mempunyai bangunan untuk aula, perpustakaan, ruang pengelola, dan fasilitas kamar mandi (WC). Bangunan itu bisa jadi akan menutup lebih dari 70 persen areal RPTRA.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjawab tantangan fungsi ekologis dengan membangun Taman Maju Bersama di lingkungan permukiman warga pada 2019. Taman Maju Bersama didominasi oleh ruang terbuka dan taman.
Berbeda dengan RPTRA yang dikelola Dinas Perumahan, pengelola Taman Maju Bersama adalah Dinas Kehutanan. Tahun ini, sembilan Taman Maju Bersama akan dibangun di Jakarta Selatan menggunakan APBD 2019.
Anggaran tiap taman Rp 1 miliar sehingga untuk 9 taman dibutuhkan Rp 9 miliar. Taman antara lain akan dibangun di Jalan Wika, Srengseng Sawah; Jalan Jagakarsa II, Jagakarsa; Jalan Menteng, Kelurahan Lenteng Agung; dan Jalan Gintung, Kelurahan Tanjung Barat.
Keberlangsungan RPTRA menjadi tantangan bagi pemimpin Jakarta ke depan. Diharapkan, selain mempertahankan keberadaannya, pemimpin baru juga ikut menjaga keberlangsungan RPTRA dengan melakukan pemeliharaan serta seleksi dan pembinaan para pengelola.
Keberadaan RPTRA diharapkan juga bisa menambah persentase ruang-ruang hijau di Jakarta hingga mencapai 30 persen. (LITBANG KOMPAS)