JAKARTA, KOMPAS -- Produksi minyak siap jual dapat dimaksimalkan dengan melakukan kerja ulang dan perawatan di sumur minyak dan gas bumi yang telah ada, ketimbang menambah kilang baru. Selain membutuhkan waktu lama untuk berproduksi, pembukaan sumur baru dinilai tak memungkinkan karena ekosistem dan regulasi investasi belum baik.
Demikian rangkuman pendapat dan penilaian dua narasumber dalam diskusi publik bertajuk "WOWS dan Produksi Minyak Kita" yang digelar forum Keuangan.co di Jakarta, Senin (26/8/2019). Keduannya adalah praktisi hulu migas PT Pertamina (Persero) Satoto Agustono dan Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira.
Kerja ulang dan perawatan atau yang dikenal dengan istilah Work Over and Well Service (WOWS) merupakan aktivitas umum yang dikerjakan di sumur-sumur minyak dan gas bumi (migas). Dua aktivitas itu antara lain dilakukan untuk mencegah terjadinya penurunan produksi migas.
Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), di tahun 2019, Work Over (WO) bakal dilakukan di 969 sumur diikuti 25.296 kegiatan Well Service (WS). Kegiatan WO yang dikerjakan tahun ini meningkat dibanding yang dikerjakan di 710 sumur pada 2017. Namun, kegiatan WS berkurang lebih dari setengah sejak 2017, dengan hanya 62.328 kegiatan.
Sumur migas tua
Satoto mengatakan, kegiatan WOWS masih kerap dikerjakan karena 85 persen sumur migas di Indonesia tergolong tua. Kegiatan itu memiliki tingkat kepastian yang lebih tinggi dalam mendapatkan minyak ketimbang berharap pada sumur baru.
“Kepastian mendapatkan minyaknya masih lebih tinggi dengan WOWS. Dengan teknologi yang ada sekarang, ini harus agresif dilakukan sehingga produksi sumur migas minimal bertahan,” kata Satoto.
Dari segi biaya, WOWS jauh lebih murah dari biaya pengeboran sumur baru. Sebagai contoh, pembukaan sumur baru dengan kedalaman 1.500 meter membutuhkan biaya 4 – 5 juta dollar AS. Dari segi waktu, pembukaan sumur baru hingga dapat berproduksi membutuhkan waktu kurang lebih 20 tahun.
Kegiatan WOWS pernah berhasil meningkatkan produksi minyak siap jual (lifting) di lapangan Sukowati milik PT Pertamina EP di 2019. Kegiatan yang membutuhkan waktu 30 hari itu berhasil menghidupkan 9 dari 12 sumur yang diuji coba dengan produksi hingga dua kali lipat hingga 20.000 barel per hari.
Menurut riset Energy Watch, rata-rata produksi WOWS itu mampu menghasilkan 10-15 barel per hari. Dengan angka itu, Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, WOWS bisa menopang angka produksi minyak.
“Bisa dibayangkan berapa tambahan produksi migas jika WOWS dimaksimalkan. Untuk WS saja, 10 barel dikali 25 ribu pekerjaaan jauh lebih cukup untuk menjaga produksi minyak,” kata dia.
Pada kesempatan yang sama, Bhima berpendapat, masalah utama produksi migas saat ini mulai dari regulasi, ketidakpastian hukum, hingga ekosistem yang mendukung investasi migas.
“Ekosistem bisnis migas ini semakin tak menarik. Ketidakpastian hukumnya tinggi, regulasinya juga tidak pernah jelas. Makanya, investor masih terus menunggu dan melihat. Masalah struktural ini urgensi yang perlu diperbaiki dalam lima tahun ke depan," tuturnya.
Keluhkan pungutan ilegal
Menurut Bhima, Indonesia masuk dalam 10 negara dengan hambatan investasi paling tinggi di dunia, menurut studi Fraser Institute tahun 2018. Salah satunya, karena perubahan skema kontrak kerja sama hulu migas, dari cost recovery atau bagi hasil menjadi gross split dengan penentuan hasil produksi di awal.
"Skema kontrak itu menimbulkan masalah baru, selain karena iklim investasi tak menarik, harga minyak saat ini juga cenderung rendah," ujarnya.
Tidak menariknya iklim investasi di dalam negeri juga terlihat dari indikator efisiensi migas berdasarkan Incremental Capital Output Ratio (ICOR). Sejak 2016 hingga 2018, rasio ICOR Indonesia ada di level 6,3.
Level itu lebih tinggi dari rasio ICOR Filipina 3,7, Thailand 4,5, Malaysia sebesar 4,6, dan Vietnam 5,2. Semakin tinggi nilai ICOR semakin tidak efisien suatu negara untuk investasi.
"Rasio itu menunjukkan penegakkan hukum dan kebijakan yang lemah. Di sektor migas, banyak investor mengeluhkan pungutan tak resmi," lanjutnya.
SKK Migas mencatat, realisasi investasi hulu migas nasional hingga Juni 2019 tercatat baru 5,21 miliar dollar AS atau 35,23 persen dari target 14,79 miliar dollar AS.
Investasi untuk pembangunan kilang migas baru dibutuhkan untuk meningkatkan lifting migas. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019, lifting migas mencapai sekitar 775.000 barel per hari. Jumlah itu turun dibanding 778.000 barel per hari di 2018 dan 803.800 barel per hari di 2017.