Benda Diduga Cagar Budaya Berserakan di Tanah Kosong
›
Benda Diduga Cagar Budaya...
Iklan
Benda Diduga Cagar Budaya Berserakan di Tanah Kosong
Benda-benda yang diduga peninggalan bersejarah warisan era kolonialisme Belanda berserakan di tanah kosong milik PT Kereta Api Indonesia, tepatnya di sebelah Kantor Camat Taman Sari, Jakarta Barat.
Oleh
J Galuh Bimantara
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Benda-benda yang diduga peninggalan bersejarah warisan era kolonialisme Belanda berserakan di tanah kosong milik PT Kereta Api Indonesia, tepatnya di sebelah Kantor Camat Taman Sari, Jakarta Barat. Langkah penyelamatan diperlukan sambil menjalankan penelitian arkeologis guna mengetahui secara pasti nilai sejarah benda-benda tersebut.
Lahan seluas lebih kurang 1 hektar di belakang Gedung BNI 46 ini berjarak 300-an meter dari Taman Fatahillah, kawasan Kota Tua, Jakarta Barat. Adapun benda diduga cagar budaya setidaknya terdiri atas dua macam, yaitu material melengkung berbahan beton dan pipa-pipa dari tanah liat.
Arkeolog Candrian Attahiyyat menduga, pipa-pipa tersebut berjumlah ratusan dan terserak di sejumlah titik di lahan kosong tadi. ”Tempat itu (dulu) kemungkinan tempat logistik material bangunan yang berasal dari Jawa, dari luar negeri, disimpan di sana kemudian dikirim ke bangunan-bangunan Kota Batavia,” ucap Candrian, Senin (26/8/2019), di Jakarta.
Lokasi barang-barang ini dekat dengan bekas stasiun yang dibangun perusahaan kereta swasta Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), sebelum ada Stasiun Jakarta Kota yang selesai dibangun tahun 1929 di selatannya.
Setiap material melengkung berbahan beton berbentuk seperempat lingkaran. Candrian menduga, jika empat bahan itu disatukan berfungsi untuk lubang angin pada tembok bangunan. Ia lantas menunjukkan lubang angin berdiameter sekitar 50 sentimeter pada Museum Bank Indonesia di kawasan Kota Tua.
Sekilas, ukurannya mirip lingkaran hasil susunan empat material melengkung dari tanah PT KAI.
Pada salah satu material itu terdapat tulisan Chamotte Unie Geldermalsen. Artinya, material itu kemungkinan produk perusahaan pembuat material tahan panas bernama Chamotte Unie di kota Geldermalsen, Belanda. Menurut catatan sejarah, Chamotte Unie mulai berproduksi tahun 1919 dan ”tutup usia” pada 1982.
Candrian belum mendapat petunjuk riwayat dan produsen pipa-pipa terakota di sana. Sepengetahuannya, pipa semacam itu dahulu digunakan untuk saluran air dan diletakkan dalam tanah. Pipa berbahan tanah liat itu digunakan hingga tahun 1960-an. Panjang satu pipa sekitar 50 cm dengan diameter lebih kurang 15 cm. Salah satu ujung pipa diameternya bertambah sekitar 2 cm. Ujung dengan diameter lebih besar kemungkinan dimaksudkan agar bisa disambung dengan pipa lain.
Selain pipa silinder lurus, ada juga pipa bengkok mirip keni atau sambungan pipa.
Candrian pernah melihat pipa terakota semacam itu di bawah Bastion Culemborg yang menjadi menara syahbandar di Penjaringan, Jakarta Utara.
Melalui penggalian arkeologis tahun 1970-an di Taman Fatahillah, pipa terakota juga ditemukan. Pipa jenis ini mungkin merupakan material umum saluran air di dalam tanah.
Candrian berharap Pemerintah Provinsi DKI bekerja sama dengan PT KAI mengamankan tanah kosong itu guna menyelamatkan benda-benda diduga cagar budaya tadi. Apalagi, pipa terakota mudah pecah. ”Benda-benda itu bisa jadi artefak riwayat pembangunan kota.”
Sejumlah warga beberapa kali menggali di lahan kosong tersebut untuk mencari benda-benda kuno yang berpotensi dijual dengan harga tinggi. Salah seorang warga, Mukti (45), pernah menemukan logam ujung tombak, lalu menjualnya.
Saat ini, sejumlah pipa terakota ditanam tegak, kemudian dijadikan semacam pot tanaman-tanaman yang dipelihara warga. Beberapa material beton melengkung Chamotte Unie dipakai sebagai semacam pagar atau penahan tanah.
Kepala Unit Pengelola Kawasan (UPK) Kota Tua Norviadi Setio Husodo menuturkan, pihaknya sudah mengunjungi lahan kosong itu dan mengambil sampel benda diduga cagar budaya.
Ia berpendapat, pemindahan tidak perlu dilakukan pada seluruh pipa dan material beton melengkung. Selain karena tempat penyimpanan terbatas, bahan dari benda-benda tersebut diyakini juga kurang menarik bagi para pencari benda berharga.
Saat ini, Norvi menunggu Tim Ahli Cagar Budaya DKI meneliti benda-benda tersebut untuk memastikan status benda itu cagar budaya atau bukan.