Sekitar 250 pekerja yang tergabung dalam Federasi Perjuangan Buruh Indonesia berunjuk rasa di depan Kantor Wali Kota Batam, Selasa (27/8/2019). Mereka menolak revisi UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Oleh
pandu wiyoga
·2 menit baca
BATAM, KOMPAS — Lebih kurang 250 pekerja yang tergabung dalam Federasi Perjuangan Buruh Indonesia berunjuk rasa di depan Kantor Wali Kota Batam, Selasa (27/8/2019). Mereka menolak Revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dianggap bakal merugikan buruh.
Ketua Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI) Cabang Batam Masmur Siahaan menginginkan buruh dilibatkan dalam revisi UU No 13/2003. Ia kecewa karena selama ini pemerintah lebih banyak mendengar suara pengusaha.
”Dengan revisi UU No 13/2003, pengusaha menginginkan sistem kerja yang lebih fleksibel. Hal ini merugikan buruh jika fleksibilitas pengupahan dan jam kerja itu benar-benar berlaku,” kata Mansur.
Ia menilai revisi tersebut lebih mementingkan investasi dan pengusaha daripada nasib buruh di Indonesia. Dugaan itu menguat setelah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 15 Tahun 2015 tentang Upah Minimum.
”PP No 78/2015 membuat sistem pengupahan semakin tidak adil karena penentuan upah tidak lagi berdasarkan kondisi ekonomi tiap-tiap daerah. Adapun Permen Tenaga Kerja No 15/2015 menghilangkan peran buruh dalam penentuan upah minimum sektoral,” ujar Masmur.
Para buruh juga merasa keberatan dengan diberlakukannya Permen Ketenagakerjaan No 11/2019 tentang Perubahan Kedua atas Permen Tenaga Kerja No 19/2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan. Peraturan itu dinilai memuluskan jalan perusahaan untuk lebih banyak menggunakan sistem outsourcing.
Wali Kota Batam Muhammad Rudi yang datang menemui para buruh berjanji akan menyampaikan aspirasi mereka kepada pemerintah pusat. Sebagai kota industri, kondisi yang harmonis antara buruh dan pengusaha perlu terus dirawat agar laju investasi tidak macet.
Sebagai kota industri, kondisi yang harmonis antara buruh dan pengusaha perlu terus dirawat agar laju investasi tidak macet.
Setidaknya, secara formal, jumlah buruh di Batam tercatat 400.000 orang. Jika menghitung buruh lepas jumlahnya diperkirakan bisa mencapai hampir dua kali lipatnya. Oleh karena itu, Rudi memastikan kehidupan buruh mendapat perhatian utama dari pemerintah.
”Kita sedang berusaha meningkatkan perkembangan industri dan pariwisata di Batam. Nanti kita bangun tempat-tempat pelatihan agar kualitas sumber daya manusia buruh bisa meningkat,” kata Rudi.
Selain menolak revisi UU Ketenagakerjaan, para buruh juga meminta didirikan Pengadilan Hubungan Industrial di Batam. Saat ini Pengadilan Hubungan Industrial yang ada di Tanjung Pinang dinilai terletak terlalu jauh dan tidak bisa mewadahi kebutuhan buruh di Batam.
Anggota Komisi I DPRD Kota Batam, Harmidi, menyatakan sepakat dengan tuntutan buruh agar lebih banyak dilibatkan dalam Revisi UU Ketenagakerjaan. ”Nanti saya suarakan di Dewan agar kami juga mengerti kondisi nyata para buruh di Batam,” ujarnya.