Terkait Rancangan Undang-Undang tentang Keamanan dan Ketahanan Siber, ada dua hal yang bisa kita wacanakan. Pertama, prosesnya mengundang pertanyaan.
Proses pengajuan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) dinilai tak biasa. Kedua, perlunya memahami lingkup materi KKS. Seperti diberitakan harian ini, Senin (26/8/2019), RUU KKS sudah dibawa ke Rapat Paripurna DPR, tetapi belum diketahui oleh Komisi I DPR. Padahal, setelah diparipurnakan, pimpinan DPR akan mengirimkannya kepada pemerintah untuk menyusun daftar inventarisasi masalah.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Hendrawan Supratikno, menjelaskan, hasil rapat pimpinan DPR pengganti Badan Musyawarah, Komisi I, dan Baleg DPR memutuskan pembahasan RUU KKS diserahkan ke Komisi I. Badan Siber dan Sandi Negara adalah mitra Komisi I. Draf RUU KKS sudah ada di anggota DPR, termasuk anggota Komisi I.
Di sisi lain, Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Abdul Kharis Almasyari menyatakan belum menerima draf dan baru akan membahasnya jika draf sudah diserahkan (Kompas, 26/8/2019). Miskomunikasikah?
Poin kedua tak kalah menarik, yaitu terkait dengan luasnya lingkup RUU KKS. Kita sepandangan dengan penjelasan Dave Laksono, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar. Ia menyatakan akan mengundang masyarakat sipil, akademisi, dan ahli saat membahas RUU itu agar tidak melanggar hak asasi manusia dan mencabut kebebasan.
Perlunya melibatkan pemangku kebijakan lintas sektor, sipil, ahli, dan akademisi juga digarisbawahi oleh Ardi Sutedja, Ketua Indonesia Cyber Security Forum. Cakupan dunia siber sangat luas dan dinamis sehingga perlu banyak orang dengan berbagai disiplin untuk membahasnya. Mengatur siber tak melulu urusan hukum dan tak bisa hanya lewat pendekatan birokrasi, tetapi (juga membutuhkan) pemahaman teknis teknologi, kebutuhan dunia usaha, hingga dampak sosial UU.
Luas dan dinamis inilah dua kata kunci yang perlu kita pegang menyangkut pengaturan jagat siber, terutama dalam hal keamanan dan ketahanan pemanfaatannya. Persisnya, di sinilah letak dilema pemanfaatan siber. Di satu pihak kita banyak terbantu dengan pemanfaatan teknologi siber. Namun, di sisi lain kemudahan yang diberikan juga menyebabkan timbulnya kerawanan, selain ketergantungan.
Dimensi luas pemangku keamanan siber meliputi tidak saja militer, tetapi juga finansial dan ekonomi secara umum, fungsi utilitas seperti halnya jaringan listrik dan telekomunikasi. Kita yang telah memutuskan memanfaatkan teknologi siber mau tak mau harus memahami berbagai aspek keamanannya.
Menyangkut ketahanan, mau tak mau kita harus punya pranata, termasuk regulasi dan laskar siber yang andal untuk mengamankan berbagai kepentingan nasional. Jika ditelusuri lebih jauh, kita membutuhkan insan cakap yang harus kita persiapkan sejak usia muda di sekolah dan lembaga pendidikan tinggi. Hanya dengan persiapan dan pemahaman yang matang, kita bisa menyusun UU yang efektif melindungi negara, tetapi tidak membatasi kreativitas masyarakat.