Pernyataan bersama para pemimpin G-7 di Perancis, Senin (26/8/2019), yang antara lain mendukung otonomi Hong Kong—sebagaimana tercantum dalam perjanjian tahun 1984 antara Inggris dan China—membuat Beijing meradang.
Oleh
Benny Dwi Koestanto
·3 menit baca
BEIJING, SELASA — Pernyataan bersama para pemimpin G-7 di Perancis, Senin (26/8/2019), yang antara lain mendukung otonomi Hong Kong—sebagaimana tercantum dalam perjanjian tahun 1984 antara Inggris dan China—membuat Beijing meradang. Meskipun para pemimpin G-7 juga menyerukan ketenangan atas kota yang dilanda protes berlarut-larut, Beijing menuduh mereka telah mencampuri perkara Hong Kong yang adalah urusan dalam negeri China.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang, mengatakan, G-7 telah melakukan aksi ”campur tangan” dan ”menyembunyikan niat jahat” mereka.
”Kami menyatakan ketidakpuasan kami yang kuat dan menolak secara tegas terhadap pernyataan yang dibuat oleh para pemimpin G-7 tentang urusan Hong Kong,” kata Geng pada konferensi pers di Beijing, Selasa (27/8).
”Kami telah berulang kali menekankan bahwa urusan Hong Kong adalah murni urusan dalam negeri China dan bahwa tidak ada pemerintah asing, organisasi, atau individu yang memiliki hak untuk melakukan intervensi,” katanya lagi.
Hingga akhir pekan lalu—dalam dua bulan terakhir—Hong Kong diwarnai aksi unjuk rasa warga. Mereka memprotes kebijakan pemerintah setempat yang didukung Beijing untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Ekstradisi yang memungkinkan pelaku kriminal diajukan ke pengadilan di China. Namun, akhir-akhir ini, isunya meluas menjadi seruan untuk mempertahankan demokrasi dan kebebasan.
Prihatin
Dalam pernyataannya, para pemimpin G-7: Inggris, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, dan AS, juga menyerukan agar aksi kekerasan di Hong Kong dihindari. Dalam beberapa aksi unjuk rasa, telah terjadi bentrokan antara pengunjuk rasa dan aparat keamanan Hong Kong yang mengakibatkan jatuh korban luka-luka.
Dalam aksi unjuk rasa awal pekan ini, kepolisian Hong Kong terpaksa menggunakan meriam air untuk membubarkan dan menahan balasan pengunjuk rasa. Selain itu, dari sejumlah foto yang beredar, beberapa polisi juga tampak mengarahkan pistolnya ke arah pengunjuk rasa. Dalam bentrokan itu, pengunjuk rasa memukul aparat dengan tongkat. Kekerasan itu menjadi yang terburuk dalam 12 pekan terakhir di Hong Kong.
Beijing sebelumnya menuduh Inggris ikut campur di wilayah semiotonom China yang diserahkan kepada Beijing pada 1997 itu. ”Aturan hukum, tatanan sosial, mata pencarian ekonomi, dan citra internasional Hong Kong telah sangat terpengaruh,” kata Geng.
”Tidak ada yang lebih peduli pada kemakmuran dan stabilitas Hong Kong selain warga China, termasuk warga Hong Kong sendiri,” ujarnya menambahkan.
Di tengah berlarut-larutnya ketidakstabilan kondisi Hong Kong, Beijing tampak bergeming. Pemerintah China terlihat belum mengintervensi penanganan aksi unjuk rasa di kota itu. Namun, di antara warga muncul kekhawatiran tindakan militer dapat diambil sewaktu-waktu oleh Beijing.
Pemimpin Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, yakin pihaknya dapat menyelesaikan persoalan Hong Kong. Ia mengaku akan meningkatkan komunikasi dengan warga terkait tuntutan mereka. (AP/AFP)