Peraturan Gubernur Kalimantan Timur untuk menghindari spekulan di lokasi yang akan dibangun menjadi ibu kota negara baru belum dibuat. Sementara itu, tanah di Kecamatan Sepaku dan Samboja terus dicari orang.
Oleh
SUCIPTO/AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
PENAJAM, KOMPAS — Peraturan Gubernur Kalimantan Timur untuk menghindari spekulan di lokasi yang akan dibangun menjadi ibu kota negara baru belum dibuat. Sementara itu, tanah di Kecamatan Sepaku dan Samboja terus dicari orang.
Sebelumnya, Gubernur Kaltim Isran Noor mengatakan akan membuat peraturan untuk mengamankan lahan yang akan dijadikan lokasi ibu kota baru. Kepala Biro Hukum Sekretariat Provinsi Kaltim Suroto menyebutkan, pihaknya belum mengadakan pertemuan untuk membahas hal itu.
”Nanti akan kami koordinasikan dengan BPN dan perangkat daerah terkait,” kata Suroto di Samarinda ketika dihubungi, Rabu (28/8/2019). Ia baru akan berkoordinasi dengan pemerintah pusat terkait produk hukum apa yang perlu disiapkan pemerintah daerah. Menurut dia, hal itu perlu dibahas agar peraturan tidak tumpang tindih.
Meskipun lokasi pasti ibu kota baru belum diumumkan, tanah di perbatasan Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara terus diincar dan harganya naik. Di Sepaku, Kecamatan Penajam Paser Utara, yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, misalnya, harga tanah yang semula Rp 35 juta per hektar kini menjadi Rp 100 juta per hektar. Bahkan, tanah di Samboja ditawarkan hingga Rp 10 juta per meter persegi di jalan lintas provinsi.
Camat Sepaku Risman Abdul mengatakan, pemerintah kecamatan belum mendapat instruksi khusus dari gubernur dan bupati. Ia masih menunggu arahan.
Pemerintah desa agar tidak memproses jual beli tanah sampai ada arahan khusus dari gubernur atau bupati.
Saat ini, ia mengimbau kepada pemerintah desa agar tidak memproses jual beli tanah sampai ada arahan khusus dari gubernur atau bupati. ”Sebab, kepala desa sudah banyak ditanya terkait ketersediaan lahan dan harga lahan,” kata Risman.
Hal serupa terjadi di Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, yang berbatasan langsung dengan Sepaku. Pelaksana Tugas Camat Samboja Ahmad Nurkhalis berharap ada penegakan hukum tegas saat terjadi perampasan hak orang lain atau pembuatan data lahan palsu.
”Jangan sampai kepentingan negara dijadikan ajang segelintir orang atau pejabat mendapatkan keuntungan ekonomi,” ujar Nurkhalis.
Lingkungan
Pemerintah juga dinilai tidak terbuka terkait kajian lingkungan di ibu kota baru. Beberapa kalangan berharap, jangan sampai ada pihak yang diuntungkan dan menghilangkan esensi penegakan hukum di sekitar lokasi ibu kota baru.
”Di Sekitar Bukit Soeharto, yang berada di Samboja, ada 44 izin tambang yang akan diuntungkan dengan pemindahan ibu kota ini,” kata dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pradarma Rupang.
Jatam Kaltim mencatat, sejak 2011 hingga Agustus 2019 terdapat 36 orang yang meninggal akibat tercebur ke lubang tambang yang tak direklamasi. Terakhir, Hendrik Kristiawan (25) meninggal akibat tercebur ke lubang di Desa Beringin Agung, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, 22 Agustus.
Jatam memperkirakan, pemindahan ibu kota ini hanya akan menguntungkan pemilik konsesi pertambangan batubara dan penguasa lahan skala besar di sana. Jika lahan itu digunakan menjadi ibu kota, perusahaan tambang yang tidak mereklamasi lahan berpotensi tak menjalankan kewajiban pemulihan lahan.
”Beban lingkungan yang akan ditanggung Kalimantan Timur juga akan sama besarnya dengan yang ditanggung Jakarta. Kajian lingkungannya juga belum pernah disampaikan gamblang kepada publik,” katanya.