JAKARTA, KOMPAS — Generasi muda semakin kritis melihat proses perumusan dan pembuatan kebijakan. Oleh sebab itu, berbagai program diselenggarakan guna mewadahi generasi muda belajar berjejaring dan memperluas wawasan agar ke depan bisa membuat kebijakan publik yang inklusif.
"Mutu sumber daya manusia bergantung kepada kapasitas para pembuat kebijakan publik yang masih muda-muda," kata Yanuar Nugroho, Deputi II Kantor Staf Presiden melalui pesan video. Ia merupakan juri khusus untuk ajang Future Leaders Connect yang diadakan oleh British Council (Lembaga Kebudayaan Inggris) pada Rabu (28/8/2019).
Mereka memilih lima orang dari sepuluh finalis untuk dikirim ke Inggris mewakili Indonesia dan bertemu dengan perwakilan pemuda dari 12 negara seperti Kenya, Nigeria, dan Amerika Serikat selama 10 hari. Di sana, selain bertemu dengan parlemen Inggris, para pemuda juga belajar mengenai dinamika kebijakan publik.
Yanuar menjelaskan, proses pembuatan kebijakan publik belum terstruktur. Masalah kompleks di lapangan ditanggapi dengan birokrasi yang sama rumitnya. Kelemahan kebijakan publik di Indonesia ialah belum berdasarkan fakta lapangan dan data.
Kelemahan kebijakan publik di Indonesia ialah belum berdasarkan fakta lapangan dan data.
"Menjadi pembuat kebijakan publik berarti mampu memposisikan diri di antara rakyat sehingga memahami persoalan dari berbagai persepsi. Hanya dengan cara itu kebijakan yang dibuat inklusif, tidak merugikan pihak-pihak tertentu," tuturnya.
Relevan
Terdapat 10 finalis dari berbagai latar belakang yang dalam ajang terakhir menyampaikan pidato selama lima menit. Dewan juri yang terdiri dari tiga orang selain Yanuar memilih lima pemenang. Mereka adalah psikolog Karina Kusuma Negara, Manajer Program Pengawasan Hukum Indonesian Corruption Watch Lalola Kaban, Manajer Program Vaksinasi dan Imunisasi Clinton Health Access Initiative Putri Herliana, pendiri Floating School Rahmat Hidayat, dan Manajer Penggunaan Lahan Berkelanjutan World Resources Indonesia Rahman Adi Pradana.
Putri Herliana berpidato mengenai pentingnya kebijakan mengelola dana pembelian dan penyebaran vaksin karena pada akhir 2019 Indonesia sudah tidak menerima bantuan keuangan lagi dari Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi. Padahal, Riset Kesehatan Dadar 2018 menyebutkan bahwa penyebab kematian pertama anak-anak adalah penyakit-penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi seperti diare, campak, dan polio.
Sementara, Rahman Adi mengutarakan fakta bahwa pada tahun 2030 penduduk Indonesia berisiko menjadi pengungsi akibat perubahan iklim. "Pengurangan polusi dan gas rumah kaca tidak bisa lagi ditinggalkan dalam pembuatan kebijakan di semua sektor kehidupan," ucapnya.
Rahman Adi mengutarakan fakta bahwa pada tahun 2030 penduduk Indonesia berisiko menjadi pengungsi akibat perubahan iklim.
Direktur Eksekutif Wahid Institute Mujtaba Hamdi yang menjadi juri mengatakan, argumen-argumen mereka mencerminkan permasalahan yang merajalela sekarang, tetapi gagasan pendekatan kebijakannya tetap orisinil. Ia menjelaskan, dalam membangun kemampuan membuat kebijakan publik tidak ada satu resep untuk semua.
"Setiap pemenang memiliki kelebihan masing-masing. Ada yang sudah kuat di membangun jejaring dan ada yang bekerja di kementerian atau pun lembaga dengan kekuatan untuk mendorong terbitnya kebijakan publik. Mereka bisa memanfaatkan nilai plus ini untuk memantapkan kemampuan," ujarnya.
Sementara itu Direktur Bahasa Inggris, Pendidikan, dan Masyarakat British Council Indonesia Colm Downes mengungkapkan, tahun 2019 ada 2.715 pendaftar Future Leaders Connect se-Indonesia. Meskipun tidak terpilih, lembaga ini memberi akses gratis bagi mereka untuk meningkatkan kompetensi berpikir kritis, berargumen, hingga merancang kebijakan publik melalui kursus daring.