JAKARTA, KOMPAS – Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah berencana mengebut pembahasan sejumlah rancangan undang-undang untuk diselesaikan pada masa jabatan periode 2014-2019 ini. Beberapa RUU akan tetap disahkan pada akhir September ini, meski dikritisi karena mengandung sejumlah pasal problematik, seperti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan RUU Pemasyarakatan.
Adapun sisa masa jabatan DPR periode ini tinggal 18 hari kerja. Di tengah waktu yang singkat itu, RUU Pemasyarakatan yang merupakan usul inisiatif pemerintah tetap ditargetkan rampung meski dikiritisi karena mengandung pasal problematik seperti mempermudah syarat pembebasan bersyarat dan asimilasi bagi terpidana kasus kejahatan luar biasa, termasuk terpidana korupsi.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil mengatakan, pembahasan terkait RUU Pemasyarakatan sudah hampir selesai karena tidak ada lagi perdebatan terkait pasal-pasal yang terkandung dalam RUU ini. Menurutnya, perdebatan hanya sebatas rencana pembentukan Badan Pemasyarakatan Nasional sebagai lembaga yang akan melaksanakan UU tersebut.
"Kami dari fraksi PKS terus mengajukan pembentukan badan tersebut, selain itu dari tiap fraksi juga belum membahas terkait lembaga pengawasan untuk pelaksanaan RUU ini," ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (28/08/2019).
Nasir mengatakan, inti dari RUU Pemasyarakatan ini adalah untuk menjaga agar tidak boleh ada pengurangan hak-hak bagi narapidana yang telah berkelakuan baik. Sejalan dengan itu, DPR akan mengevaluasi peraturan yang dianggap tidak sejalan, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. DPR ingin agar bebas bersyarat bagi terpidana kejahatan luar biasa, termasuk korupsi, dipermudah.
Daftar inventarisasi masalah (DIM) fraksi-fraksi di DPR mencantumkan usulan agar syarat tambahan rekomendasi dari lembaga penegak hukum untuk memberikan asimilasi atau pembebasan bersyarat terhadap terpidana kejahatan luar biasa, sebagaimana tercantum di PP Nomor 9/2012, tidak perlu dicantumkan di UU Pemasyarakatan.
Adapun dalam aturan tersebut juga tercantum syarat ketentuan yang memperberat syarat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat untuk sejumlah tindak pidana kategori kejahatan luar biasa, seperti terorisme, narkotika, dan korupsi yang tidak berkenan menjadi justice collaborator.
"Kami ingin agar proses justice collaborator bisa dilakukan pada proses penyidikan di KPK. Karena seharusnya para narapidana sudah tidak boleh dibebani sejumlah persyaratan untuk mendapat remisi ketika sudah dalam proses penahananan," kata Nasir.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen Pas) Kementerian Hukum dan HAM Sri Puguh Budi Utami mengatakan, pembahasan RUU ini akan dikebut agar tidak dilimpahkan pada DPR periode berikutnya. Menurutnya, sudah tidak ada perdebatan terkait pasal-pasal yang ada dalam draf RUU ini.
Menurut Sri Puguh, UU Pemasyarakatan akan mengatur bahwa tidak boleh ada pengurangan hak-hak narapidana kecuali ada putusan dari pengadilan. Menurutnya, hal ini diharapkan akan memunculkan kepastian hukum bagi para narapidana.
RKUHP
Sementara, Rancangan KUHP juga tetap ditargetkan rampung pada akhir bulan ini. Padahal, kelompok masyarakat sipil dan publik mengkritisi serta meminta agar RKUHP tidak terburu-buru disahkan. Kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyoroti adanya 16 isu krusial dalam RKUHP.
Beberapa di antaranya, masalah hukuman mati, pengaturan makar, serta munculnya beberapa pasal yang sudah tidak relevan dengan kondisi demokrasi saat ini, seperti pasal penghinaan presiden dan penghinaan terhadap pemerintahan yang sah. Selain itu, ada pula masalah kriminalisasi penghinaan terhadap agama, serta masalah tindak pidana pelanggaran HAM yang berat.
Isu krusial yang disoroti kelompok masyarakat sipil itu lebih banyak dibandingkan yang disoroti panitia kerja DPR dan pemerintah. Mengacu pada hasil rapat konsinyering Panja RKUHP terakhir pada 26 Juni 2019, tinggal tersisa tujuh isu krusial dalam RKUHP.
Anggota Panja RKUHP dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani mengatakan, akhir pekan ini, panja DPR dan pemerintah akan mengadakan rapat konsinyering untuk membahas sejumlah pasal yang belum rampung, khususnya isu-isu yang masih dikritik kelompok masyarakat sipil.
“Masukan dari publik tetap kami adopsi, tetapi memang sulit jika tuntutannya adalah meniadakan sejumlah pasal tertentu yang dianggap bermasalah dari RKUHP,” katanya. (Dvd/Age)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.