Kematian ikan massal pada keramba jaring apung atau KJA di sejumlah waduk di Jawa Tengah pada Juli 2019 antara lain disebabkan pola budidaya yang tak ideal.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Kematian ikan massal pada keramba jaring apung atau KJA di sejumlah waduk di Jawa Tengah pada Juli 2019 antara lain disebabkan pola budidaya yang tak ideal. Para petani KJA, baik untuk skala lokal maupun industri, diminta memperhatikan daya dukung lingkungan.
Sepanjang Juli 2019, terjadi dua kematian ikan massal, yakni di Waduk Kedung Ombo, Kabupaten Sragen, dan Waduk Wadaslintang, Kabupaten Wonosobo, Jateng, dengan jumlah total lebih dari 200 ton. Jenis ikan yang mati antara lain nila, tombro, patin, dan mas.
Kepala Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Semarang R Gatot Perdana di Kota Semarang, Rabu (28/8/2019), mengatakan, hasil uji laboratorium tidak menunjukkan adanya virus. Namun, kualitas air di kedua waduk itu buruk.
Kadar oksigen terlarut dalam air yakni di bawah 3 ppm (parts-per-million) atau kadar batas agar ikan hidup dengan layak. ”Itu dipengaruhi fenomena upwelling (pembalikan massa air) yang terjadi. Sedimentasi yang mengandung zat beracun di dasar waduk naik ke permukaan,” ujar Gatot.
Upwelling terjadi karena adanya perubahan cuaca ekstrem, yang membuat air yang lebih dingin naik ke bagian atas perairan. Hal itu, kata Gatot, menyebabkan senyawa beracun, seperti amonia (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S), di antaranya dari sisa pakan dan kotoran, ikut naik dan meracuni ikan.
Itu dipengaruhi fenomena upwelling (pembalikan massa air) yang terjadi. Sedimentasi yang mengandung zat beracun di dasar waduk naik ke permukaan.
Gatot menekankan, upwelling tak menyebabkan kematian massal jika pola budidaya ideal. ”Padat tebar (kepadatan) ikan di keramba perlu diperhatikan. Pemberian pakan juga jangan berlebihan. Budidaya ikan air tawar perlu memperhatikan daya dukung lingkungan,” katanya.
Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Data Informasi BKIPM Semarang Ely Musyarofah menuturkan, pihaknya merekomendasikan agar masyarakat cermat dan rutin menguji kualitas. Lalu, mendekati musim pancaroba, keramba digeser hingga mencapai kedalaman minimal 25 meter.
Selain itu, perlu ada evaluasi teknologi pemberian pakan, meliputi jumlah, frekuensi, dan tekniknya untuk mengurangi sisa pakan yang terbuang di perairan. ”Pemanenan ikan dan penarikan jaring keramba ke tepi juga harus segera dilakukan jika terjadi perubahan cuaca ekstrem,” katanya.
Skala besar
Dihubungi terpisah, Ketua Forum Komunikasi Jaringan Kelompok Tani Nelayan Waduk Wadasilintang, Nurdin (54), mengatakan, kematian ikan awalnya terjadi pada Juni 2019. Puncaknya yakni pada Senin (22/7/2019) malam, yakni kematian ikan dalam skala besar.
"Perubahan suhu udara secara ekstrem terjadi antara siang dan malam. Ketinggian permukaan air air juga turun sekitar 50 persen. Setiap musim kemarau, ikan-ikan mati biasa terjadi, tetapi jumlahnya tak sebesar tahun ini. Terakhir kali sebesar ini pada 2015," kata Nurdin.
Pada Selasa (27/8), dilakukan diskusi kelompok terarah (FGD) yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di Wadaslintang. Menurut Nurdin, solusi dan rekomendasi dari diskusi itu adalah pengurangan kepadatan ikan di KJA dan menghindari pemberian pakan berlebihan.
Nurdin menuturkan, KJA milik kelompok masyarakat di Waduk Wadaslintang berjumlah sekitar 300 kolam, masing-masing berukuran 6 meter x 6 meter. Selain itu, ada juga sejumlah KJA skala industri untuk budidaya ikan nila, yang antara lain untuk keperluan ekspor.
Perubahan suhu udara secara ekstrem terjadi antara siang dan malam. Ketinggian permukaan air air juga turun sekitar 50 persen. Setiap musim kemarau, ikan-ikan mati biasa terjadi, tetapi jumlahnya tak sebesar tahun ini. Terakhir kali sebesar ini pada 2015, kata Nurdin.
Kepala Seksi Observasi dan Informasi Stasiun Meteorologi Kelas II Maritim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Tanjung Emas Semarang Slamet Wiyono mengatakan, saat upwelling terjadi, sejumlah zat yang berada di dasar perairan naik. Pada kasus tertentu, kondisi itu membahayakan budidaya perikanan.
Di Jateng, peristiwa matinya ikan secara massal hanya di beberapa titik, tidak masif. ”Yang kami amati, masih dalam kondisi normal, tidak membahayakan secara meluas. Bahkan, upwelling di laut sebenarnya menguntungkan karena ikan jadi mudah ditangkap,”katanya.