JAKARTA, KOMPAS - Usulan pelarangan mantan narapidana kasus korupsi mengikuti Pemilihan Kepala Daerah diatur dalam Undang-Undang menguat. Setelah Komisi Pemilihan Umum, giliran Badan Pengawas Pemilu mengusulkan agar pemerintah mengadopsi ketentuan tersebut dalam perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2018 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Usulan itu disampaikan langsung oleh para komisioner Bawaslu kepada Presiden Joko Widodo dalam pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (28/8/2019). "Kami menyampaikan persiapan pilkada serentak 2020 dari sisi kelembagaan dan juga regulasi. Kami melihat bahwa regulasi Pilkada perlu dilakukan revisi terbatas," kata Ketua Bawaslu R Abhan sesuai pertemuan.
Sama dengan KPU, Bawaslu melihat pasal-pasal yang kurang efektif dalam UU Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada) harus diperbaiki atau bahkan dihapus. Untuk itu pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu segera melakukan revisi terbatas UU Pilkada.
Selain itu perubahan UU Pilkada juga perlu dilakukan untuk memperketat persyaratan calon kepala daerah-calon wakil kepala daerah. Menurut Abhan, syarat calon kepala daerah-calon wakil kepala daerah harus ditambah, yakni tidak pernah menjadi narapidana kasus tindak pidana korupsi.
"Soal syarat calon bukan napi koruptor, saya kira harus dipertegas dengan UU Pilkada, tidak cukup dengan Peraturan KPU saja, karena nanti lebih mudah dipersoalkan lantaran undang-undangnya masih memperbolehkan (mantan narapidana korupsi mengikuti pilkada)," kata Abhan menjelaskan.
Maraknya kasus korupsi yang menjerat kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi alasan perlunya larangan mantan narapidana korupsi maju dalam pilkada. Larangan itupun penting diatur dalam UU untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan bebas korupsi.
Usulan larangan mantan narapidana kasus korupsi mengikuti pilkada yang diajukan Bawaslu itupun disambut baik oleh Presiden Jokowi. Mantan Gubernur DKI Jakarta itupun, bahkan, mengusulkan agar masa kampanye dipersingkat demi efektivitas dan efisiensi.
Berkoordinasi dengan MA
Secara terpisah Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Ahmad Riza Patria mengungkapkan, sebenarnya DPR sudah pernah mengusulkan agar mantan narapidana korupsi tidak diperbolehkan maju pilkada. Tapi usulan itu tidak diakomodir dalam UU Pilkada, karena ketentuan sebelumnya sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Karena itu diperlukan kesepakatan serta komitmen seluruh fraksi di parlemen untuk kembali mengatur persyaratan tersebut dalam UU Pilkada. Hal yang tak kalah penting adalah berkoordinasi dengan Mahkamah Konstitusi agar ketentuan itu tidak dibatalkan lagi.
Riza juga mengungkapkan jika sebenarnya fraksi-fraksi di DPR menganggap UU Pilkada perlu direvisi. Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (F-Gerindra) sendiri menginginkan agar ketentuan pilkada serentak nasional dihapuskan. "Pilkada serentak nasional itu tidak akan efektif dan efisien, karena komisioner KPU di pusat hanya tujuh orang. Sementara semua persoalan pilkada di daerah pasti muaranya diurus juga oleh KPU pusat," kata dia.
Menurut Riza, akan lebih baik jika Pilkada serentak tetap dilakukan dalam tiga gelombang atau tahap. Untuk menghemat biaya penyelenggaraan, pilkada semestinya dilakukan secara serentak dalam satu provinsi.
Saat ini DPR dalam posisi menunggu usulan perubahan UU Pilkada dari pemerintah. Riza mengharapkan, pemerintah segera mengajukan RUU perubahan UU Pilkada agar bisa segera disahkan dan menjadi pedoman penyelenggaran pilkada serentak tahun 2020.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.