Berharap Wakil Rakyat Tidak Mengumbar Harapan Palsu…
Meski sudah terbiasa menyaksikan ruang sidang yang kosong saat pembahasan hal-hal krusial, ketidakhadiran hampir 90 persen dari 26 anggota Panja DPR untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tetap saja mengundang kekecewaan para aktivis.
Keseriusan DPR mengegolkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, yang adalah inisiatif DPR, dipertanyakan. Kalangan masyarakat sipil berharap DPR tak sekadar mengumbar janji.
Hari Senin (26/8/2019) seharusnya menjadi hari penting karena hari itu sudah ditunggu-tunggu oleh Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan serta para aktivis organisasi perempuan, anak, dan hak asasi manusia. Sebab, setelah dua tahun menanti, akhirnya DPR membuka persidangan untuk membahas Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Sesuai jadwal, hari itu, pukul 14.00, Panitia Kerja (Panja) Komisi VIII DPR mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual akan membahas Daftar Isian Masalah RUU tersebut dengan tim panja pemerintah. Namun, ternyata agenda pembahasan RUU tersebut tidak terwujud.
Sampai sidang dibuka, hampir sekitar pukul 14.30, hanya tiga anggota Panja DPR yang hadir. Dua diantaranya dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) yang sejak awal sudah menyatakan menolak RUU tersebut dan yang satu dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB). Konon, para anggota panja tidak hadir karena ada acara lain di luar rapat tersebut.
Meski hanya tiga orang di ruangan, sidang tetap dibuka. Yang memimpin bukan Ketua Panja Marwan Dasopang, melainkan Iskan Qolba dari F-PKS. Saat memimpin sidang, Iskan menyatakan sidang itu tertutup untuk umum dan meminta yang boleh ikut sidang hanya mereka yang masuk dalam surat presiden. Sidang kemudian digelar tertutup, tapi sekitar lima menit kemudian sidang bubar. Dari informasi, sidang ditunda Selasa (27/8/2019) petang di Hotel Sultan, Jakarta (belakangan diganti di Hotel Peninsula Jakarta).
Kondisi tersebut sontak mengundang pertanyaan anggota Komnas Perempuan dan aktivis organisasi perempuan yang tergabung dalam Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) dan Forum Pengada Layanan bagi perempuan korban kekerasan.
Selain mempertanyakan ketidakhadiran ketua panja, mereka juga mempertanyakan anggota panja dari partai-partai pendukung yang tidak hadir. Kalau alasannya karena ada acara lain, menurut para aktivis hal itu tidak masuk akal karena jadwal sidang DPR bukan mendadak, melainkan ditetapkan jauh-jauh hari.
Selain mempertanyakan ketidakhadiran ketua panja, mereka juga mempertanyakan anggota panja dari partai-partai pendukung yang tidak hadir.
Walaupun sudah terbiasa menyaksikan ruang sidang yang kosong saat pembahasan hal-hal yang krusial, ketidakhadiran hampir 90 persen dari 26 anggota Panja DPR untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tetap saja mengundang kekecewaan para aktivis. Berbagai kritik pun dilontarkan untuk anggota Panja DPR.
Bukan hanya tidak sensitif terhadap korban kekerasan seksual, serta tidak punya komitmen dalam mencegah dan memberantas kekerasan seksual, para aktivis juga melihat ada ”kesengajaan” dari para anggota Panja DPR untuk mengulur-ulur waktu pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena sebenarnya di belakang layar, sebagian besar besar anggota DPR tidak setuju, bahkan ”ketakutan” jika RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan menjadi UU.
Sejauh ini yang terungkap, sejumlah anggota DPR mengingatkan agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bertabrakan dengan RUU Hukum Pidana (yang juga sekarang dibahas) atau akan terjadi overkriminalisasi terhadap orang-orang yang bukan pelaku kekerasan seksual.
Karena itu, sikap DPR yang mengulur-ulur waktu pembahasan RUU Penghapusan terus mengundang pertanyaan. Apakah mereka benar-benar serius mengegolkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang merupakan RUU usul inisiatif DPR sendiri?
Padahal, DPR tahu betul, waktunya sangat terbatas. Dari jadwal acara rapat Komisi VIII DPR Masa Persidangan I Tahun Sidang 2019-2020, hanya ada dua kali Rapat Panja DPR untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, yakni 26 Agustus dan 3 September. Rapat kerja Komisi VIII DPR dengan agenda pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dijadwalkan pada 25 September 2019.
Dari jadwal acara rapat Komisi VIII DPR Masa Persidangan I Tahun Sidang 2019-2020, hanya ada dua kali rapat Panja DPR untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, yakni 26 Agustus dan 3 September.
Pertanyaannya? Jika Rapat Panja DPR pada 26 Agustus tidak jadi, lalu apakah masih cukup waktu bagi DPR untuk membahas RUU tersebut?
Pemerintah pun setali tiga uang
Pada Selasa (27/8/2019) petang, Tim Panja Pemerintah menggelar diskusi kelompok terfokus (FGD) di Hotel Peninsula yang mengundang semua anggota Panja DPR. Namun, kegiatan tersebut juga tertutup. Padahal, kegiatan diskusi antara pemerintah dan DPR tersebut difasilitasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).
Sikap tertutup tim panja pemerintah, yang setali tiga uang dengan Panja DPR, dikritik organisasi masyarakat sipil. ”Perilaku KPPPA bagi kami merupakan hal yang aneh sehingga perlu kami pertanyakan, sebenarnya posisi KPPPA di pihak siapa?” ujar Ratna Batara Munti, Koordinator JKP3.
Perilaku KPPPA bagi kami merupakan hal yang aneh sehingga perlu kami pertanyakan, sebenarnya posisi KPPPA di pihak siapa?
Apa yang dilakukan KPPPA saat ini dinilai jauh tradisi KPPPA sebelumnya yang sangat terbuka dengan keterlibatan masyarakat sipil saat pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Karena itu, meski kecewa, para aktivis tidak menyerah. Mereka tetap mendatangi hotel penyelenggaraan FGD, menemui para anggota Panja DPR yang hadir dalam diskusi tersebut dan tetap meminta agar proses pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual terbuka untuk umum.
Di tengah sejumlah pertanyaan organisasi masyarakat sipil, Ketua Panja DPR Marwan Dasopang menyatakan, tim Tim Panja DPR akan berusaha agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan sesuai jadwal. Hal itu disampaikan Marwan seusai FGD dengan tim panja pemerintah, Selasa (27/8/2019), sebagaimana keterangan pers dari KPPPA.
Senada dengan Marwan, Ketua Panja Pemerintah Vennetia R Danes juga sangat optimistis RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan disahkan dalam waktu dekat. Dia menjelaskan, FGD pada hari Selasa sebagai bahan pengayaan bagi Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
”Rapat panja resminya pada 2 September 2019. Kami berharap di tanggal tersebut sudah terbentuk tim perumus, tim sinkronisasi dan tim teknis, dan akan berlanjut. Ditargetkan, tanggal 25 September 2019 sudah harus diketuk,” ujar Vennetia.
Sembilan tindak pidana
Semenjak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ditetapkan masuk dalam Program Legislasi Nasional DPR, harapan akan hadirnya keadilan terhadap korban kekerasan seksual pun muncul. Kesembilan tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam RUU tersebut yakni pemerkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual, diharapkan akan menghentikan aksi pelaku kekerasan seksual yang terjadi selama ini tidak tersentuh hukum.
Selama ini, perempuan korban mengalami reviktimisasi karena aparat penegak hukum sering tidak berpihak pada korban. Sembilan tindak pidana kekerasan seksual tersebut diharapkan menjadi terobosan hukum material.
Selama ini, perempuan korban mengalami reviktimisasi karena aparat penegak hukum sering tidak berpihak kepada korban.
Sebab, seperti kata Ketua Panja Pemerintah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Vennetia R Danes, RUU tersebut merupakan upaya pembaruan hukum untuk mengatasi berbagai persoalan kekerasan seksual. Pembaruan hukum tersebut diwujudkan melalui pengaturan tentang pencegahan terjadinya kekerasan seksual; bentuk-bentuk kekerasan seksual; hak korban, termasuk pemulihan; hukum acara peradilan pidana kekerasan seksual; pemantauan penghapusan kekerasan seksual; dan pemidanaan.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan membentuk sistem baru yang lebih melindungi perempuan dari sisi penegakan hukum serta mendorong peran negara agar lebih bertanggung jawab terhadap upaya pemulihan korban dan pencegahan kekerasan seksual di masa datang.
Maka, menunda-nunda pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi UU sama artinya memberikan ruang leluasa bagi penjahat seksual.
Karena itu, pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi UU diharapkan menjadi warisan anggota DPR periode 2014-2019, bukan sebagai ”permainan politik” semata, apalagi hanya mengumbar janji palsu kepada rakyat.