Kami Hanya Ingin Pulang...
Ariknap Wandigbo mengisahkan perjalanannya selama tiga hari tiga malam dari Mapenduma, Nduga, Papua, ke Kenyam, ibu kota Nduga. Selama tiga hari, ia memeluk anaknya yang paling kecil. Mereka melewati gunung, hutan, dan tiga sungai besar.
Ariknap Wandigbo mengisahkan perjalanannya selama tiga hari tiga malam dari Mapenduma, Nduga, Papua, ke Kenyam, ibu kota Nduga. Selama tiga hari, ia memeluk anaknya yang paling kecil. Mereka melewati gunung, hutan, dan tiga sungai besar, yaitu Yuguru, Lowe, dan Kenyam.
”Anak-anak yang bayi dimasukkan ke noken. Lalu, noken diikat ke tali rotan yang dikerek seberangi sungai besar,” cerita Ariknap.
Ariknap meninggalkan rumah dan tabungan 12 babi miliknya di Mapenduma saat mendengar kabar Pendeta Geyimin Nirigi dibunuh pada 4 Desember 2018. ”Kami punya hamba Tuhan saja dibunuh, apalagi kami masyarakat biasa,” ceritanya.
Di Nduga, Ariknap bersama empat keluarga lain mengumpulkan seng-seng bekas dan kayu-kayu sisa untuk membangun pondok. Mereka tidur berdesakan di lantai yang lembab, termasuk seorang bayi yang baru lahir. Tidak ada lampu dan air pun hanya mengandalkan hujan. ”Rumah saya di Mapenduma isinya hanya keluarga kami. Saya bisa berkebun setiap hari,” katanya.
Perang narasi
Keberadaan Geyimin hingga saat ini belum jelas. Perang narasi terjadi dalam persoalan ini. Aktivis menyebut jenazah Geyimin dibakar, sementara aparat keamanan mengatakan ia masih hidup. Pendeta Nataniel Tabuni pada 11 Desember 2018 melalui Kepala Penerangan Kodam Cendrawasih Kolonel Aidi mengatakan, Geyimin baik-baik saja. Namun, saat ditemui di Kenyam awal Agustus lalu, ia mengatakan, Geyimin sudah tewas.
Nataniel yang adalah Koordinator Gereja Kingmi Nduga menjelaskan, Geyimin adalah pendeta penting yang menerjemahkan Alkitab ke bahasa Nduga. Nataniel juga menuliskan nama 24 jemaatnya yang tewas. Beberapa di antaranya remaja. ”Tolong kasihilah kami orang Papua,” ceritanya.
Menurut Nataniel, banyak warga lari setelah aparat keamanan masuk ke daerahnya. Di sejumlah distrik di Nduga, yaitu Yigi, Mugi, Yal, Dal, Mbulmulayma, Mapenduma, dan Mbua, ada banyak gereja tutup karena tidak ada jemaatnya.
Pendeta Saul Kogeya (61) yang stroke beberapa tahun lalu, digendong anaknya, berjalan kaki dari Yigi ke Mbua, lebih dari tiga hari tiga malam. Ia melihat ada masyarakat yang tertembak saat keluar dari honai.
Sesampai di Kenyam, Saul dan keluarganya menjebol salah satu rumah pemerintah daerah yang tidak terpakai. Ia tidak berbekal apa pun. Saat ini, mereka makan dari menanam pisang dan ubi di sekitar rumah tersebut.
Sementara itu, babinya yang berjumlah 11 ekor di Yigi tentu sudah hilang ke hutan. Padahal, babi adalah mata uang bagi masyarakat. Seekor babi kecil dihargai Rp 5 juta. Sementara yang sudah keluar taringnya bisa dijual Rp 20 juta-Rp 30 juta per ekor.
Dalam pengungsian, ibu-ibu hamil dan anak-anak yang paling kepayahan. Orang-orang tua yang tidak mampu lagi berjalan banyak yang ditinggalkan.
Sampa Ondigbo menuturkan, ada 10 orang lanjut usia yang ditinggalkan di kampungnya pada Januari lalu. Ia tidak tahu bagaimana kini nasib mereka karena beberapa orang hanya bisa berbaring.
Dari sekitar 200 jemaat yang mengungsi bersama, ada ibu hamil yang akhirnya meninggal di perjalanan. ”Kami makan apa pun yang ada di jalan,” katanya.
”Bapa Presiden, tolonglah dengarkan kami. Kami hanya ingin pulang,” katanya.
Untuk bisa makan, kini mereka mencari-cari di tepi-tepi Kenyam. Jika dihitung, sehari satu rumah itu bisa menghabiskan 15 kilogram beras dengan sayur yang dipetik dari sekeliling Kenyam. Banyak warga yang lalu menahan lapar. ”Ini musim hujan, banyak yang jadi sakit malaria karena tahan lapar,” cerita Sampa.
Banyak keluarga yang terpisah-pisah karena semua lari terbirit-birit hanya dengan baju yang dipakai. Daud Kelnea bercerita, ia turun dari Gunung Kabo karena desanya dijatuhi bom asap.
Setelah itu, ia ketakutan karena tentara datang dengan mengacung-acungkan senjata. Keluarga Daud lari lintang pukang, tidak tahu sekarang ada di mana. ”Masih banyak yang ada di hutan. Mereka takut turun ke sini,” katanya.
Korban
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sisriadi mengatakan, banyak juga masyarakat yang digunakan sebagai tameng oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB). Ketika KKB di Nduga yang dipimpin Egianus Kogoya ini menyerang dan terdesak, mereka menggunakan perempuan dan anak-anak untuk meloloskan diri.
Menurut Sisriadi, konflik yang tengah terjadi di Nduga memang membawa korban, termasuk korban di pihak TNI dan Polri yang sejak Desember 2018 mencapai belasan orang, 10 orang di antaranya meninggal dunia. ”Kondisi sudah membaik, banyak pengungsi yang sudah pulang. Di Jayawijaya, dari 1.600 orang, sekarang diperkirakan tinggal 1.000 pengungsi ,” kata Sisriadi.
Theo Hassegem dari Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua mengatakan, banyak korban juga disebabkan tindakan aparat keamanan. Mereka, misalnya, Nison Umanggu (18) dan Minianus Lokbere (18) yang jenazahnya ditemukan di Distrik Mbua, 14 Desember lalu. Korban tewas juga terjadi di Yigi, seperti Kerry Gwijangge (30) dan Ameri Nimiangge (20).
Menurut Theo, beberapa orang juga sakit karena disiksa. Sementara perempuan dan anak-anak banyak yang menjadi korban saat berada dalam perjalanan di hutan dan selama pengungsian. Theo mencatat nama Selpina Elokbere dan Elin Gwijangge yang meninggal saat melahirkan di hutan.
Theo, dalam konferensi pers di Jakarta, beberapa waktu lalu, khawatir banyak pengungsi yang berada di hutan dan gunung-gunung. Hal itu tidak saja membuat mereka bisa diperlakukan sebagai gerilyawan. Jika mereka sakit dan lapar, juga tak ada yang merawat. Di hutan tidak ada makanan, apalagi obat-obatan.
Pendidikan
Kerusakan paling besar dan berjangka panjang dari konflik di Nduga terkait dengan pembangunan manusia di daerah itu, baik dari sisi kesehatan maupun pendidikan.
Kris, kepala sekolah di Mbua, mengatakan, dari 104 muridnya, yang kini berada di Kenyam hanya 11 orang. Sementara Pater John Jonga mengatakan, ada sekitar 800 anak usia sekolah yang nasibnya terkatung-katung di pengungsian di Wamena. ”Belum lagi yang di tempat lain,” katanya.
Anak-anak ini adalah harapan orang tua dan semua orang. Rawat mereka.
Antie Solaiman, pengajar di Universitas Kristen Indonesia, mengatakan, pengungsian ini bisa berefek pada kehancuran peradaban Nduga. Masa depan anak-anak Nduga pupus. Sekolah roboh, anak-anak tidak bisa sekolah.
Sementara itu, orang-orang muda yang berpendidikan jadi kehilangan ruang untuk tumbuh. Mereka kehilangan pilihan dalam hidup. Tidak tertutup kemungkinan mereka malah frustrasi dan masuk ke hutan mengangkat senjata.
Masyarakat Nduga tidak meminta terlalu banyak. Mereka sudah terdesak. Mereka tidak ingin hidup mengandalkan bantuan yang ditengarai jadi proyek para elite. Mereka sudah punya tanah untuk berkebun, babi untuk diternakkan, serta anak-anak yang sehat dan ke sekolah agar nanti punya hidup yang lebih baik.
Mereka hanya ingin pulang ke rumah dan melanjutkan hidup secara normal, seperti warga negara Indonesia lainnya.