Salah satunya sudah terlihat dari penindakan oleh aparat penegak hukum terhadap pelaku ujaran rasis di asrama mahasiswa Papua, Surabaya, 17 Agustus lalu. Namun, untuk tuntutan referendum, tidak masuk akal. Papua bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, sudah final.
Oleh
Dhanang David Aritonang
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berusaha sekuat tenaga menyelesaikan persoalan di Papua. Salah satunya sudah terlihat dari penindakan oleh aparat penegak hukum terhadap pelaku ujaran rasis di asrama mahasiswa Papua, Surabaya, 17 Agustus lalu. Namun, untuk tuntutan referendum, hal itu tidak masuk akal. Papua bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, sudah final.
”Pemerintah sekarang ini sedang berusaha sekuat tenaga, tidak membiarkan, tidak mendiamkan. Pemerintah hadir dengan cara-cara yang baik, cara-cara yang benar, cara-cara yang tepat, sehingga menyelesaikan masalah untuk tidak menimbulkan masalah,” kata Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (29/8/2019).
Wiranto menyampaikan hal ini menyikapi situasi terkini di Papua, khususnya di Jayapura, yang kembali rusuh.
Sebelum rusuh, massa dari sejumlah lokasi di Jayapura dan Sentani berunjuk rasa sejak pukul 09.00 WIT. Mereka memprotes tindak kekerasan dan ujaran rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang, 17 Agustus lalu. Massa juga menuntut pemblokiran internet oleh pemerintah sejak pekan lalu dicabut.
Terkait insiden di sejumlah asrama mahasiswa Papua di Jawa Timur, Wiranto menegaskan, semua yang melanggar hukum bakal ditindak. Ini termasuk mereka yang menghina mahasiswa Papua.
”Apakah aparat keamanan polisi atau TNI yang nyata-nyata memang melaksanakan suatu kegiatan di luar batas itu akan diberi tindakan,” katanya.
”Begitu pula warga sipil yang waktu itu sudah jelas-jelas melakukan tindakan melanggar hukum, pelecehan, ya, pengejekan, penghinaan, sudah akan dihukum, diusut tuntas,” lanjutnya.
Jadi, menurut Wiranto, tuntutan masyarakat Papua agar hukum ditegakkan sebenarnya sudah tak perlu disuarakan lagi.
Setelah insiden di Jawa Timur, Polda Jatim telah menetapkan Tri Susanti sebagai tersangka ujaran kebencian kepada mahasiswa Papua. Tri berperan sebagai koordinator lapangan saat unjuk rasa di depan asrama Papua di Surabaya, 17 Agustus lalu.
Sementara itu, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto saat berada di Timika, Papua, Rabu, mengatakan, dua prajurit TNI telah diperiksa terkait dugaan ujaran rasis.
”Saya sampaikan kepada seluruh anggota bahwa TNI tidak memberikan ruang terhadap pelaku-pelaku rasis dan akan kita tindak tegas,” ujar Hadi, seperti dikutip dari Kompas.com.
”Unjuk rasa di Papua itu, kan, sebenarnya yang dituntut masalah keadilan atas kejadian pelecehan dan penghinaan dan semua itu sudah terjawab. Bahkan, saya sudah bicara dengan masyarakat Papua, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda, kita bincangkan di sana (Papua) tentang bagaimana kita melakukan langkah-langkah yang persuasif,” tutur Wiranto.
Oleh karena itu, jika hingga kini masih terjadi unjuk rasa, dia khawatir unjuk rasa tersebut justru ditunggangi. Apalagi unjuk rasa kemudian berujung kerusuhan seperti di Jayapura pada Kamis ini. Dia memperoleh informasi, massa membakar kantor Majelis Rakyat Papua dan membobol rumah tahanan.
Sehari sebelumnya, Rabu, 28 Agustus, unjuk rasa berujung rusuh juga terjadi di Kabupaten Deiyai, Papua, bahkan menimbulkan korban dari personel TNI/Polri.
”Jangan sampai dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain yang akan merugikan masyarakat sendiri,” lanjutnya.
Adanya tuntutan referendum yang kemudian mengemuka saat unjuk rasa menjadi salah satu indikasi unjuk rasa massa telah ditunggangi.
Tuntutan referendum dinilai Wiranto tidak pada tempatnya. ”Tuntutan referendum itu tak lagi harus disampaikan karena NKRI sudah final,” ujarnya.
”Perjanjian New York yang pernah dilaksanakan sekitar tahun 1960 sudah mengisyaratkan bahwa Irian Barat waktu itu, sekarang Papua dan Papua Barat, sudah sah menjadi wilayah NKRI. Karena itu NKRI sudah final, NKRI harga mati, termasuk Papua dan Papua Barat,” lanjutnya.
Bermula dari Perjanjian New York 15 Mei 1962, Belanda menyerahkan Papua kepada PBB melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) pada 1 Oktober 1962. PBB melalui UNTEA kemudian secara resmi menyerahkan Papua kepada Indonesia.
Sementara itu, Ketua DPR Bambang Soesatyo mendesak agar pemerintah bisa segera memulihkan situasi di Papua dan Papua Barat.
”Kami mendesak agar segera dilakukan pemulihan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Saya juga mendengar bahwa rencananya Presiden dalam waktu dekat akan bertemu dengan para tokoh adat dan tokoh agama dari Papua dalam rangka menyelesaikan masalah ini,” ucap Bambang.