Sejak dunia Arab dilanda revolusi 2011, Uni Emirat Arab agresif melebarkan pengaruh di kawasan untuk menjaga keutuhan monarkinya. Hal ini terjadi di tengah absennya aktivitas CIA di negeri itu.
Kantor berita Reuters, Senin (26/8/2019), menurunkan laporan investigasi yang mengejutkan tentang absennya aktivitas intelijen Badan Pusat Intelijen Amerika Serikat (CIA) di Uni Emirat Arab. Mengutip tiga mantan pejabat CIA, Reuters melaporkan bahwa CIA tidak menjalankan aktivitas mata- mata terhadap Pemerintah UEA. UEA pun masuk lima negara di muka Bumi ini yang terbebas dari aktivitas intelijen CIA selain Inggris, Australia, Selandia Baru, dan Kanada.
Hal itu dinilai aneh dalam tradisi dunia intelijen AS. UEA secara geografis berada di kawasan Timur Tengah, salah satu pusat konflik internasional. Bahkan, UEA lebih spesifik lagi bertepi ke Selat Hormuz di Teluk Persia yang dikenal sangat strategis lantaran 20 persen pasokan minyak dan gas dunia melewati selat tersebut.
Teluk Persia juga menjadi arena pertarungan sengit dua kekuatan besar dalam geopolitik kawasan, yaitu Arab Saudi dan Iran. UEA berada di barisan kubu Arab Saudi.
Dalam hal ini, operasi CIA dikenal sangat aktif di wilayah- wilayah konflik itu. Bahkan, CIA disebut memiliki aktivitas intelijen secara besar-besaran di Arab Saudi, tetangga UEA yang mempunyai pengaruh besar di kawasan.
CIA disebut sudah memiliki perangkat intelijen elektronik di UEA. Namun, perangkat itu sama sekali tidak memadai untuk ukuran operasi intelijen sekelas wilayah UEA yang sangat sensitif dan menjadi pusat konflik dunia. Kerja sama CIA-UEA selama ini lebih fokus menghadapi musuh bersama mereka, yaitu Iran.
Dalam aktivitas intelijen di UEA, apalagi menghadapi musuh sekelas Iran, CIA seharusnya menggunakan perangkat tenaga manusia yang senior dan berpengalaman. Selain itu, CIA juga dianggap harus hadir lebih besar dan lebih kuat dengan segala perangkatnya di UEA terkait gerakan ekspansi pengaruh UEA yang luar biasa di sejumlah wilayah di Timur Tengah dan bahkan sampai ke Afrika dan Asia.
Panggung geopolitik
UEA kini tak bisa lagi dianggap sebagai negara kecil. Jika mau disebut lebih tepat: UEA adalah negara kecil dengan pengaruh sangat besar. Negara itu kini berupaya bersaing dengan Iran, Qatar, dan bahkan dengan Arab Saudi di panggung geopolitik kawasan.
Di bawah duet Putra Mahkota Abu Dhabi, Pangeran Mohammed bin Zayed al-Nahyan dan Penguasa Dubai yang sekaligus Wakil Presiden UEA Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum, keterlibatan UEA secara masif di panggung geopolitik kawasan adalah sebuah keniscayaan.
Kebijakan UEA itu terbangun sejak 2011 ketika dunia Arab dilanda revolusi rakyat yang mengempas rezim diktator di sejumlah negara Arab, seperti Mesir, Tunisia, Libya, dan Yaman. UEA saat itu sangat khawatir revolusi rakyat bisa menjalar ke UEA dan negara monarki lainnya di kawasan Arab Teluk, dan bisa menggulingkan rezim monarki di kawasan itu.
Karena itu, UEA segera bangkit mendukung serta mengucurkan dana dan senjata terhadap gerakan kontra revolusi di sejumlah negara Arab. UEA mendukung kuat aksi militer Mesir menggulingkan pemerintahan Presiden Muhammad Mursi pada 13 Juli 2013, dan mengucurkan dana besar- besaran kepada pemerintahan Presiden Abdel Fattah el-Sisi.
UEA juga mendukung Jenderal Khalifa Haftar di Libya yang kini mencoba menggulingkan pemerintah PM Fayez Siraj di Tripoli yang lahir dari revolusi rakyat Libya. Di Yaman, UEA terakhir ini secara de facto hengkang dari koalisi Arab pimpinan Arab Saudi dan membangun kekuatan loyalisnya sendiri di Yaman selatan, yang dikenal dengan milisi Dewan Transisi Selatan (STC).
Di Sudan, UEA mendukung dewan transisi militer (TMC) yang menggulingkan Presiden Omar Bashir pada 11 April lalu. Lewat dukungan itu, UEA tak ingin Sudan jatuh ke tangan kelompok revolusioner.
Di sektor media, UEA jadi tuan rumah jaringan televisi Al Arabiya milik Saudi yang kini berbasis di Dubai dan jadi penyandang dana utama televisi Skynews Arabic. Dua televisi itu dikenal sebagai rival televisi Al Jazeera milik Qatar.
Guna mewujudkan ambisinya, seperti bocoran berita di harian terkemuka Israel, Haaretz, edisi 20 Agustus lalu, UEA meningkatkan kerja sama intelijen dengan Israel. UEA juga merekrut mantan pejabat Badan Keamanan Nasional AS (NSA) untuk menjalankan aktivitas mata-mata di dalam negeri AS dan terhadap warga Arab di AS, khususnya warga Arab Teluk, termasuk warga UEA yang dianggap berpotensi menjadi oposan.