Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan tiga korporasi sebagai tersangka dalam kasus kebakaran hutan dan lahan pada tahun ini. Ketiga perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut berada di Ketapang, Kalimantan Barat.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan tiga korporasi sebagai tersangka dalam kasus kebakaran hutan dan lahan pada tahun ini. Ketiga perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut berada di Ketapang, Kalimantan Barat.
Dalam beberapa waktu mendatang, jumlah korporasi yang menjadi tersangka pun bisa bertambah karena KLHK saat ini menyegel 27 konsesi kebun dan hutan lain di lima provinsi yang terpantau mengalami kebakaran seluas 4.490 hektar. Penyegelan dilakukan untuk mengumpulkan alat bukti dan keterangan dalam proses penyelidikan.
”Belajar dari kejadian-kejadian tahun sebelumnya, kami akan melakukan penegakan hukum yang lebih keras. Kami intensifkan pidananya,” kata Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Kamis (29/8/2019), di Jakarta.
Penegakan hukum pidana yang lebih keras yang ia maksud ialah menggunakan sejumlah pasal berlapis dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta UU No 41/1999 tentang Kehutanan. Pasal 119 UU No 32/2009 yang berisi ”perampasan keuntungan” mulai diterapkan bagi pelaku korporasi.
Penegakan hukum pidana yang lebih keras yang ia maksud ialah menggunakan sejumlah pasal berlapis dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta UU No 41/1999 tentang Kehutanan.
Dalam penanganan kasus pidana korporasi tahun-tahun sebelumnya, KLHK belum pernah menggunakannya sebagai ”peluru”. Biasanya mereka menggunakan pasal-pasal dalam UU No 32/2009, seperti pencemaran/kerusakan lingkungan dan kebakaran hutan/lahan, serta pasal dalam UU No 41/1999, seperti sengaja/lalai membakar hutan.
Sedang didalami
Direktur Penindakan Pidana KLHK Yazid Nurhuda menjelaskan, ketiga korporasi yang disidik tersebut terkait kebakaran lahan perkebunan sawit seluas sekitar 1.000 ha. Perusahaan tersebut ialah PT SKM (800 ha), PT AER (100 ha), dan PT ABP (85 ha).
Obyek yang terbakar ialah tanaman sawit dan semak belukar. Terkait dugaan pembersihan lahan atau peremajaan sawit, Yazid mengatakan, ”Sedang mendalaminya.”
Pendalaman tersebut juga dilakukan terhadap tersangka perseorangan berinisial UB di Kubu Raya, Kalimantan Barat, karena kebakaran seluas 274 hektar. Jika petani kecil, umumnya mereka hanya mampu mengelola kebun sawit berkisar 5-6 hektar. ”Kami sedang mendalami apa perseorangan ini juga terkait dengan korporasi,” kata Rasio.
Lebih lanjut, ia mengatakan, kasus-kasus ini juga akan didekati dengan instrumen lain, seperti sanksi administratif dan perdata. Untuk sanksi administratif, pelaksanaannya dipercayakan kepada pemerintah daerah sebagai penerbit izin usaha perkebunan.
Kasus-kasus ini juga akan didekati dengan instrumen lain, seperti sanksi administratif dan perdata.
”Pihak pemberi izin itu berwenang untuk mengawasi dan menindak/mencabut si penerima izin, termasuk pemerintah daerah dan menteri. Kami lagi exercise ini untuk pemda,” kata Rasio.
Namun, menteri memiliki kewenangan lebih berupa second line law enforcement untuk menindak penerima izin dari pemerintah daerah jika pemerintah daerah tak menjalankan tugas/kewenangannya.
Terkait langkah perdata pada perusahaan-perusahaan yang telah dilakukan penyidikan ataupun penyelidikan, Direktur Penyelesaian Sengketa KLHK Jasmin Ragil Utomo mengatakan sangat dimungkinkan. Namun, pelaksanaannya akan sangat mempertimbangkan luas kebakaran yang akan sangat berdampak pada penghitungan ganti rugi ataupun upaya pemulihan lingkungan.
Berdasarkan pengalaman kebakaran hutan tahun 2015, terdapat sembilan perusahaan yang dijatuhi sanksi perdata, dengan area terkecil kebakaran, yaitu pada PT Palmina Utama di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, seluas 511 hektar.
Sementara itu, Direktur Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK Raffles Brotestes Panjaitan mengatakan, luas kebakaran hutan dan lahan pada periode Januari-Juli 2019 seluas 135.747 hektar, lebih tinggi daripada periode yang sama pada 2018 seluas 71.959 hektar. Namun, pada periode 2019, luas gambut terbakar lebih kecil, yaitu 31.002 hektar, dan 2018 mencapai 56.358 hektar.
Ia pun mengatakan, berdasarkan satelit Terra Aqua Modis, rekapitulasi titik panas seluruh Indonesia pada periode Januari-Agustus 2015-2019, terdapat penurunan jumlah titik panas pada 2019 jika dibandingkan dengan kondisi tahun 2015, yakni 61 persen (8.495 titik panas), dan kenaikan jumlah titik panas tahun 2019 dibandingkan dengan kondisi tahun 2018 sejumlah 17,6 persen (803 titik panas).
Menurut Raffles, upaya pencegahan dan penanganan kebakaran hutan dan lahan membaik dari tahun ke tahun. Ia menunjukkan bahwa sejumlah daerah telah sadar akan risiko kebakaran sehingga menetapkan status siaga darurat lebih awal untuk sedini mungkin mematikan api.
”Kalau api masih kecil, masih satu jam-an gitu, masih bisa dipadamkan. Kalau api telanjur besar, ya, tidak bisa, tidak ada gunanya. Kalau sudah terbakar 4-5 jam, itu butuh air yang sangat banyak. Jadi harus sesegera mungkin dipadamkan saat diketahui ada kebakaran,” katanya.