Sejumlah tokoh agama dan forum komunikasi pimpinan daerah di Kota Sorong, Papua Barat, menggelar deklarasi damai pada Jumat (30/8/2019). Semua pihak berharap agar jangan ada lagi aksi kekerasan di tanah Papua.
Oleh
FRANS PATI HERIN
·3 menit baca
MANOKWARI, KOMPAS — Sejumlah tokoh agama dan forum komunikasi pimpinan daerah di Kota Sorong, Papua Barat, menggelar deklarasi damai pada Jumat (30/8/2019). Semua pihak berharap agar jangan ada lagi aksi kekerasan di tanah Papua. Kekerasan hanya akan membawa kesengsaraan bagi masyarakat seperti yang terjadi belakangan ini.
”Berharap jangan ada lagi kekerasan seperti yang terjadi belakangan ini di tanah Papua. Kekerasan membawa kesengsaraan. Ekonomi lumpuh, anak-anak kita tidak bisa sekolah,” kata Ketua Klasis Gereja Kristen Indonesia Sorong Pendeta Isak Kwaktolo yang dihubungi dari Manokwari pada Jumat petang. Isak ikut dalam deklarasi pada Jumat pagi.
Putra asli Papua itu mengatakan, setiap pimpinan agama akan menyerukan kepada para pengikut mereka agar tidak terprovokasi isu-isu yang dapat merusak kerukunan warga di daerah tersebut. Imbauan itu disampaikan di rumah-rumah ibadah pada saat kegiatan keagamaan. Tokoh adat juga diminta membantu memberikan pesan damai.
Kami minta jangan membuat gerakan tambahan, seperti gerakan pro-NKRI. Hal itu akan membuat kondisi semakin runyam.
Isak juga mengingatkan agar masyarakat yang bukan penduduk asli Papua tetap tenang dan tidak perlu menanggapi secara berlebihan aksi yang dilakukan masyarakat asli Papua yang marah karena harga diri mereka dilecehkan. ”Kami minta jangan membuat gerakan tambahan, seperti gerakan pro-NKRI. Hal itu akan membuat kondisi semakin runyam,” katanya.
Abdul Manan Fakaubun, Ketua Majelis Ulama Indonesia Kota Sorong, yang dihubungi secara terpisah, juga meminta agar semua umatnya tetap menjaga kedamaian. Dirinya yang juga ikut dalam deklarasi itu menyatakan, kondisi di Sorong sudah aman. Ia berharap, gejolak yang terjadi di Jayapura pada Kamis lalu tidak merembet hingga Sorong.
Sorong, Manokwari, dan Fakfak, tiga kota di Papua Barat, dilanda kerusuhan pada pekan lalu. Kerusuhan pertama kali terjadi di Manokwari dan Sorong pada 19 Agustus 2019 dan Fakfak dua hari kemudian. Kerusuhan di Papua dan Papua Barat itu masih terkait penghinaan bernada rasisme terhadap mahasiswa asal tanah Papua di Jawa Timur pada pertengahan Agustus lalu.
Kerusuhan di Manokwari menyebabkan kantor DPRD Papua Barat, kantor Majelis Rakyat Papua Barat, dan sejumlah kantor pemerintahan dibakar massa. Sejumlah gedung di jantung kota itu dirusak. Sementara itu, di Kota Sorong, Bandar Udara Domine Eduard Osok dirusak massa. Satu mobil dan tiga sepeda motor dibakar. Di Fakfak terjadi bentrokan antarwarga.
Antisipasi aksi
Menurut pantauan Kompas di Manokwari, warga beraktivitas seperti biasa. Aparat keamanan melakukan patroli di kota. Di salah satu hotel, sejumlah pejabat utama Polda Papua Barat menggelar rapat untuk mengantisipasi potensi merembetnya aksi dari Papua ke Papua Barat. ”Potensi itu yang kami waspadai. Kami terbantu dengan diputusnya jaringan internet,” kata Kepala Bidang Humas Polda Papua Barat Ajun Komisaris Besar Mathias Yosia Krey.
Berdasarkan informasi intelijen, pada Senin pekan depan akan berlangsung kembali aksi damai di Manokwari. Polisi sedang mendekati para tokoh penting agar mengendalikan pengikut mereka untuk tidak bertindak anarkistis. Tambahan personel Polri dan bantuan dari TNI akan didatangkan ke Manokwari.