Metode Formatif Menilai Siswa secara Holistik
TANGERANG SELATAN, KOMPAS — Penilaian siswa menggunakan metode sumatif merupakan penghambat dalam transformasi pola pemelajaran dari terpusat kepada guru menjadi pemelajaran yang mengembangkan pemikiran kritis. Penyadaran dan pelatihan metode penilaian formatif mendesak disebarluaskan.
Metode sumatif ialah menilai siswa berdasarkan hasil yang didapat setelah pelajaran. Penerapannya dengan memakai ujian seperti ulangan harian, ulangan tengah semester, dan ulangan akhir semester. Kekurangan cara sumatif adalah hanya melihat kemampuan kognitif atau akademik siswa berdasar materi yang mereka pelajari di kelas.
"Kecerdasan siswa justru ada di proses belajar dan tumbuh kembang. Bukan cuma pada nilai ujian yang diperoleh dengan cara menghafal," ujar salah satu pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Novi Chandra di lokakarya pengimbasan dan implementasi GSM kepada 120 guru di Tangerang Selatan, Banten, Jumat (30/8/2019). Pesertanya adalah guru dan kepala sekolah dari Banten, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Riau, dan Jambi.
Kecerdasan siswa justru ada di proses belajar dan tumbuh kembang. Bukan cuma pada nilai ujian yang diperoleh dengan cara menghafal.
Pemelajaran abad ke-21 tidak hanya memerlukan kognisi. Justru, pemelajaran ini lebih membutuhkan keterampilan, yaitu unsur berpikir kritis, analisis, pandai berkreasi, dan luwes berkomunikasi. Aspek-aspek ini membutuhkan metode penilaian yang formatif, artinya siswa diperhatikan perubahan ketika mulai sekolah hingga di akhir masa sekolah. Keterampilan merupakan kemampuan manusia yang tidak akan bisa digantikan oleh teknologi.
Novi yang juga psikolog pendidikan di Universitas Gadjah Mada memaparkan, sejatinya di dalam Kurikulum 2013 penilaian yang dikehendaki oleh sistem bersifat formatif. Akan tetapi, dalam sosialisasi dan pelatihannya lebih menekankan kepada teknis mengisi lembar penilaian.
Padahal, kemampuan guru melakukan penilaian formatif harus didahului perubahan paradigma mengajar bahwa guru bukan sumber pengetahuan yang kini mudah didapat di internet. Guru adalah penggodok karakter dan keterampilan siswa.
Kemampuan guru melakukan penilaian formatif harus didahului perubahan paradigma mengajar bahwa guru bukan sumber pengetahuan yang kini mudah didapat di internet.
Gerakan Sekolah Menyenangkan melakukan pendampingan kepada guru-guru dari 250 SD dan SMP, termasuk madrasah. Terungkap, dalam menerapkan penilaian sumatif, siswa selama enam tahun bersekolah di SD bisa mengikuti hingga 1.200 ujian. Mereka umumnya mempelajari tujuh mata pelajaran yang setiap semester minimal ada enam kali ulangan per mata pelajaran. Bentuknya ulangan harian, tengah semester, ulangan akhir semester, ulangan sekolah, dan remedial. Khusus remedial bisa dilakukan hingga dua kali untuk satu ulangan.
"Beban seberat itu ternyata tidak meningkatkan kemampuan literasi siswa, seperti terlihat pada hasil tes PISA (Program Asesmen Siswa Internasional) kemampuan literasi, sains, dan matematika siswa Indonesia masih kurang. Tiga aspek itu tidak bisa didapat dengan cara menghafal pelajaran, tapi dengan keterampilan berpikir kritis," tutur Novi.
Pola pemelajaran formatif hanya bisa dilakukan melalui kegiatan berbasis proyek, seperti kerja kelompok. Dimulai dengan guru memimpin diskusi dan melihat sudut pandang siswa terkait suatu topik pelajaran. Mereka kemudian memilih topik yang akan dibahas lebih lanjut per kelompok. Proses itu melibatkan siswa mencari informasi yang kredibel, membaca, menganalisa, menyimpulkan, dan memproduksi gagasan mengenai jalan keluar yang bisa diambil guna memecahkan masalah tersebut.
Sumatif mengungkung
Dalam lokakarya, guru dibagi menjadi dua kelompok yang kemudian dimasukkan ke ruangan terpisah. Mereka berpura-pura menjadi siswa. Kelompok pertama belajar mengenai perubahan iklim dengan cara konvensional, yakni ada satu guru mengajar di depan sementara para "siswa" hanya mencatat dan menghafal.
Kelompok kedua belajar topik yang sama dengan cara berbasis kerja kelompok. Mereka mencari rujukan pustaka dan artikel media arus utama mengenai pemanasan global. Setelah itu didiskusikan dan dicari usulan solusinya. Usai pemelajaran, kedua kelompok diberi tes sumatif 20 soal yang sama.
Hasil tes mengungkapkan bahwa kelompok bergaya belajar konvensional hanya mendapat nilai rata-rata 45,8. Sebaliknya, para guru yang belajar dengan metode formatif rata-rata memperoleh nilai rata-rata 81,6. Alasannya karena dengan mencari informasi, berdiskusi, menganalisis, dan mencari solusi tanpa sadar mereka melakukan proses pemahaman topik.
Hasil tes mengungkapkan bahwa kelompok bergaya belajar konvensional hanya mendapat nilai rata-rata 45,8.
Salah satu guru yang sudah mengubah cara mengajar adalah Wulan Fajarini, guru kelas IV SDN Rejodani, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Menurut dia, penilaian formatif Kurikulum 2013 adalah panduan. Penerapannya harus diadaptasi sesuai kelas masing-masing.
Cara yang ia lakukan adalah ketika memberi tugas kelompok, sebagai guru ia mesti memahami lama waktu yang diperlukan siswa untuk mengerjakan proyek. Ia kemudian membuat indikator seperti "siswa bisa mengerjakan tugas sesuai metode yang diajar", "siswa mengambil inisiatif mencari metode sendiri", atau pun "siswa bisa menyelesaikan tugas lewat dari batas waktu yang ditentukan".
Setiap jenis keterampilan, antara lain kreativitas, komunikasi, sosial, dan berpikir kritis diberi indikator masing-masing yang ia simpan di komputer dan ponsel pintarnya. Ketika siswa sibuk membuat tugas, Wulan langsung memasukkan pengamatan terhadap siswa ke dalam indikator-indikator itu dengan memakai ponsel. Cara ini menurut dia melengkapi catatan harian guru sekaligus mendata siswa.
Ia mengungkapkan, dengan pendekatan berbasis proyek siswa selalu sibuk membaca dan berdiskusi sehingga menghilangkan kebutuhan untuk sering melakukan ulangan harian. Setiap menit pemelajaran efektif dipakai untuk bertanya dan berbagi persepsi. Bahkan, ia juga tidak lagi perlu memberi pelajaran tambahan di luar jam sekolah.
"Ketika pembagian rapor saya sudah punya catatan lengkap perkembangan siswa. Tinggal dipindah ke laman rapor. Setiap siswa diberi penjelasan mengenai kelebihan mereka dan kekurangan yang perlu dibenahi. Orangtua juga paham aspek yang bisa mereka bantu," ucapnya.
Sementara itu, Kepala Sekolah SD dan SMP Mayang Mangurai di Tanjung Jabung Barat, Jambi, Sariani, mengungkapkan ketertarikan untuk menerapkan metode formatif di sekolahnya. Ia merencanakan sosialisasi dilakukan dalam dua pekan sambil mulai menggunakan metode formatif dengan evaluasi bulanan.