Ibarat rumah besar, elite politik bangsa Indonesia seperti sedang membuka banyak kamar. Kamar negosiasi. Tepatnya kamar untuk negosiasi politik. Tepatnya lagi kamar untuk negosiasi kepentingan politik dan kepentingan ekonomi. Politik memang seni mencari berbagai kemungkinan. Politik Indonesia masih melakoni politik seperti yang dikatakan ilmuwan politik Amerika Serikat, Harold Lasswell (1902-1978), yakni siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana mendapatkannya.
Pengumuman Presiden Joko Widodo di Istana Negara untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur membuka kamar negosiasi baru. Negosiasi politik pemindahan ibu kota bisa menjadi rumit di tengah dinamisnya situasi politik, menjelang pelantikan presiden 20 Oktober 2019 dan tentunya yang amat ditunggu pembentukan kabinet baru. Jika mau dikatakan, momentum pengumuman pemindahan ibu kota kuranglah tepat ketika kekuasaan politik belum sepenuhnya terkonsolidasi.
Selain kamar negosiasi ibu kota, sudah ada kamar negosiasi di depan mata. Misalnya, pemilihan pimpinan DPR. Ruang negosiasi itu relatif terkunci karena undang-undang menyatakan bahwa ketua DPR dijabat dari partai politik pemenang pemilu. Artinya, kursi ketua DPR otomatis jatuh ke tangan PDI-P. Negosiasi hanya akan terjadi di dalam internal PDI-P. Apakah akan dijabat Puan Maharani seperti yang sudah banyak disebut? Atau, tokoh lain bergantung pada Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Ruang negosiasi juga akan terjadi dalam partai yang berhak menjadi wakil ketua DPR.
Kamar negosiasi yang sudah di depan mata lainnya adalah komposisi pimpinan MPR. Undang-undang tidak mengunci siapa yang pasti akan menjabat pimpinan MPR. Justru di sinilah, negosiasi terbuka. Pada posisi inilah transaksi akan terjadi. Semua partai politik merasa berhak mendapatkan kursi pimpinan MPR. PDI-P merasa berhak karena pemenang pemilu. Golkar merasa berhak. Partai Gerindra pun merasa berhak. Negosiasi pun menjadi kompleks ketika syarat mendapat dukungan menjadi pimpinan MPR, yakni amendemen konstitusi. Calon pimpinan MPR harus bersepakat dengan isu amendemen konstitusi.
Dalam dinamika ”perebutan” kursi pimpinan MPR, muncul gagasan lain, yakni mengubah undang-undang untuk memperbanyak pimpinan MPR menjadi 10 orang. Usulan itu hanya memuaskan nafsu kekuasaan sejumlah elite politik.
Dari kamar negosiasi pimpinan MPR memunculkan kamar negosiasi baru, yakni amendemen konstitusi terbatas, yakni MPR berhak menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Kamar negosiasi amendemen konstitusi pun meluas. Presiden Joko Widodo bersikap hati-hati, ”Siapa yang menjamin amendemen konstitusi hanya akan dilakukan secara terbatas, yakni MPR menetapkan GBHN,” kata Presiden Jokowi.
Ada tiga kelompok kepentingan berkaitan dengan amendemen konstitusi. Kelompok pertama menghendaki amendemen terbatas. Kelompok kedua menghendaki kembali ke UUD 1945 asli. Dan, kelompok ketiga ingin melakukan perubahan kelima.
Ada kelompok yang menghendaki menambah kewenangan lembaganya melalui amendemen konstitusi. Jadi, kamar negosiasi pun kian terbuka dan makin melebar. Semuanya bisa bertransaksi atau ditransaksikan.
Soal bahan GBHN pun, tentunya, terbuka untuk dinegosiasikan. Siapa yang membuat GBHN itu? Apakah MPR yang merupakan representasi partai politik dan anggota Dewan Perwakilan Daerah? Pembuatan draf GBHN atau rencana pembangunan semesta pun, membuka kamar baru untuk dirundingkan. Di kamar itu, akan banyak lagi isu yang bisa dinegosiasikan. Antara lain, soal siapa yang akan menjadi ”juri” seandainya presiden melenceng dari GBHN? Apakah ada ruang pemakzulan presiden oleh MPR jika presiden dinilai melenceng dari GBHN?
Di tengah negosiasi, penyusunan Kabinet Indonesia Kerja 2019-2024 adalah kamar negosiasi yang lain. Perebutan posisi menteri ekonomi, menteri yang menguasai BUMN yang sedang galau gara-gara reshuffle dirut. Atau, posisi menteri bidang hukum, termasuk jaksa agung menjadi sorotan. Perebutan portofolio menteri akan menjadi bahan transaksional. Gelagat mengendurnya koalisi pemerintahan tampak ada gejala pengelompokan politik baru.
Penyusunan kabinet akan ikut menentukan negosiasi di kamar belakang politik. Kamar belakang politik berbeda dengan kamar depan. Harapan kelompok kepentingan, termasuk partai politik yang tidak terakomodasi dalam kabinet, oleh Presiden Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin akan ikut menentukan penyikapan politik ke depan. Politik ke depan akan dinamis, termasuk untuk memperebutkan sumber daya politik dan ekonomi.
Sambil berjalannya negosiasi politik, Presiden Jokowi membuka kamar baru negosiasi politik, yakni pemindahan ibu kota. Pemindahan ibu kota membutuhkan dukungan politik dari DPR yang terdiri dari partai politik. Dukungan partai politik ditentukan sejauh mana kepentingan partai politik diakomodasi Presiden Jokowi-Ma’ruf Amin. Dukungan politik penting karena memindahkan ibu kota membutuhkan payung hukum.
Payung hukum itu perlu karena pemindahan ibu kota akan memakan waktu lama. Tak selesai lima tahun dan akan ada kampanye Pemilu Presiden 2024. Bagaimana kalau calon presiden 2024-2029 menolak membawa pemindahan ibu kota dalam panggung kampanye? Akan ada ketidakpastian di sana?
Di tengah banyaknya ruang negosiasi, kehidupan sehari-hari terus berjalan. Proyeksi ekonomi kuranglah menggembirakan. Ketegangan politik daerah mengemuka. Papua bergejolak. KPK dalam ancaman. Rancangan KUHP akan dikebut. Sementara janji kampanye segera ditagih. Kartu prakerja dan kartu lainnya akan ditagih realisasinya. Pada sisi lain, korupsi terus merajalela, sementara ada gelagat KPK akan dilemahkan. Isu pemindahan ibu kota memang bisa menjadi legacy dari Presiden Jokowi.
Namun, itu akan memecah fokus pemerintahan pada pembangunan SDM dan membangun KPK yang kuat. Apakah itu kebetulan? Franklin Delano Roosevelt menyebut, ”Tidak ada kebetulan dalam politik. Kalau ada yang kebetulan, itu direncanakan.” Ketika politik belum sepenuhnya terkonsolidasi, tak perlu lagi memperbanyak kamar negosiasi. Ketika kamar negosiasi dibuka terlalu luas, saya khawatir apa yang pernah dikatakan jurnalis ternama, ”Nek mrucut piye.”