Pengelolaan Sampah di Jakarta yang Padat
Sampah merupakan salah satu masalah yang dihadapi kota besar seperti DKI Jakarta. Hingga kini, 6 persen sampah harian DKI Jakarta masih tidak terangkut ke tempat pembuangan akhir di Bantargebang.
Sampah merupakan salah satu masalah yang dihadapi kota besar seperti DKI Jakarta. Hingga kini, 6 persen sampah harian DKI Jakarta masih tidak terangkut ke tempat pembuangan akhir di Bantargebang.
Persoalan sampah di Ibu Kota kembali menghangat. Pemantiknya, acara studi banding Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ke Surabaya pada akhir Juli 2019.
Ditemui langsung Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, puluhan anggota DPRD DKI belajar tentang konsep intermediate treatment facility (ITF). Menurut rencana, konsep pengolahan sampah ini akan diterapkan di dalam perda sampah yang sedang disusun di Jakarta.
Studi banding berujung pada perbandingan anggaran pengelolaan sampah DKI Jakarta dan Surabaya. Anggota DPRD DKI Jakarta, Bestari Barus, mengatakan, anggaran di DKI tahun 2019 sebesar Rp 3,7 triliun. Pada periode yang sama, anggaran pengelolaan sampah di Surabaya hanya Rp 30 miliar.
Dengan jumlah penduduk lebih kurang empat kali penduduk Surabaya, DKI Jakarta harus mengeluarkan anggaran mengelola sampah lebih dari seratus kali lipat anggaran pengelolaan sampah di Surabaya.
Sekilas, bisa jadi Jakarta lebih boros. Meski demikian, ada sejumlah aspek yang perlu menjadi pertimbangan, mengingat masalah sampah di DKI Jakarta lebih kompleks.
Salah satunya terkait kapasitas Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang di Kota Bekasi, Jawa Barat, yang semakin terbatas. Bahkan, diprediksi TPST yang beroperasi sejak tahun 1989 ini akan ditutup tahun 2021 karena tak mampu lagi menampung sampah dari Jakarta.
Mengatasi hal itu, Pemprov DKI membangun TPST baru di Sunter, Jakarta Utara, dengan memanfaatkan konsep ITF. Meski demikian, daya tampung TPST ini hanya 2.200 ton per hari atau baru setara 30,3 persen total produksi sampah harian Jakarta. Pada 2017, rata-rata produksi sampah di ibu kota 7.261,9 ton per hari, setara dengan 1.017 truk sampah.
Tidak semua sampah berhasil diangkut ke TPST Bantargebang. Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, pada tahun 2017 rata-rata sampah yang berhasil diangkut 6.825,5 ton per hari. Artinya, setiap hari masih ada sekitar 6 persen atau 436 ton sampah tersisa di DKI Jakarta.
Pemprov DKI telah melakukan langkah strategis untuk meningkatkan pengelolaan sampah di TPST Bantargebang. Salah satunya menambang sampah di zona landfill untuk dimanfaatkan kembali sebagai pembangkit listrik.
Pada akhir 2017, bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Pemprov DKI membangun proyek percontohan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa). Dengan kapasitas 50-100 ton sampah per hari, PLTSa ini diperkirakan dapat menghasilkan listrik hingga 400 kWh.
Di sisi lain, problem sampah di DKI juga diwarnai tarik ulur antara Pemprov DKI dan Pemkot Bekasi. Hal ini terkait status lahan Bantargebang yang milik Bekasi.
Terakhir kali, 18-19 Oktober 2018, puluhan truk sampah DKI Jakarta dihentikan Dishub Kota Bekasi. Penghentian dilakukan dalam rangka evaluasi kerja sama antara DKI Jakarta dan Pemkot Bekasi terkait pengangkutan sampah.
Sebelumnya, Juni 2016, warga berunjuk rasa dan memblokir akses truk ke TPSP Bantargebang. Aksi ini dilakukan terkait dana kompensasi sampah untuk warga dan swakelola TPST oleh Pemprov DKI.
Bagaimana sebenarnya alur sampah di Jakarta hingga terakhir sampai di TPST?
Menuju Bantargebang
Diawali tahap pengumpulan dari sumber asalnya. Sampah dibawa di tempat pembuangan sementara (TPS). TPS terdiri atas berbagai bentuk, mulai dari depo sampah berupa bangunan tertutup seluas lebih kurang 300 meter persegi, tempat transit sampah yang berisi 1-2 kontainer, bak sampah, dan tempat pengumpulan gerobak sampah. Menurut catatan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, pada tahun 2018, total TPS di Ibu Kota tak kurang dari 1.086 unit.
Dari TPS, sampah dibawa ke TPST Bantargebang. Pengangkutan dilakukan oleh ribuan truk milik Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Cara ini disebut sebagai pengangkutan sampah secara tidak langsung.
Ada pula pengangkutan sampah secara langsung. Dengan cara ini, pengangkutan dimulai dari pintu ke pintu rumah tangga, kemudian langsung dibawa ke TPST tanpa melalui TPS.
Setelah tiba di TPST Bantargebang, sampah menjalani tahap penimbunan atau sanitary landfill. Sistem ini merupakan salah satu upaya yang telah lama diterapkan untuk menekan jumlah sampah.
Upaya pengurangan jumlah sampah masih jauh dari selesai. Upaya pemerintah belum juga mampu menyelesaikan persoalan tumpukan sampah di Ibu Kota. Sebanyak 6 persen sampah harian DKI Jakarta tidak terangkut ke TPST Bantargebang. Dari sisi lain, sampah yang tidak terangkut dapat juga mengindikasikan kebiasaan warga membuang sampah sembarangan.
Kebiasaan membuang sampah sembarangan menyebabkan pencemaran berat pada sungai. Menurut hasil analisis, beberapa titik di Sungai Ciliwung mengalami pencemaran serius, terlebih di daerah menuju hilir sungai.
(Litbang Kompas)